Di luar penduduk bagian Sungai
Batanghari, yaitu di Sungai Tembesi beserta anak-anaknya keuluan, bagian Bungo
dan Merangin sebagian bersar rakyatnya disebut “Orang Batin”. Ada yang
menginterpretasikan dengan bahasa Arab, yaitu kata batin itu berarti ‘dalam’.
Jadi, orang batin itu sama denagn orang dalam. Maksudnya adalah orang keturunan
keraton juga tetapi berasal dari sebelah ibu, karena itu orang batin tidak
memakai gelar ‘raden’.
Memperkuat alasannya, oleh karena orang
batin tidak wajib bakti (dienstalichtig) seperti orang bangsa XII dan orang
perbatasan. Segala sesuatu meengenai hukum , orang batin langsung kepada raja
dengan pertimbangan tidak lagi harus melalui rapat bangsa XII (Rapat XII adalah
sidang Dewan Perpatih dalam 5 orang anggota ditambah Pangeran Ratu sebagai
ketua dan Dewan Patih Luar dengan 6 orang anggota termasu ketua/seorang
pangeran yang tertua).
Versi lain, bahwa kata “batin” itu
berasal dari kata batin, artinya “induk”, dengan kata lain “pangkal”
atau “asal mula” atau “aslinya”. Jadi orang batin menurut versi ini adalah
orang induk, maksudnya orang asal di tempat itu/asli Jambi. Dapat dikatakan
sebelum orang-orang ini menduduki tempat tersebut, belum ada manusia lain yang
bertempat tinggal di sana. Meraka ini adalah ‘oorspronklijk’ kata orang Belada,
maksudnya orang asal. Dari mana datangnya orang ini, mungkin inilah yang
disebut dengan “melayu tua”.
Kampung yang pertama dibuat disebut
“induk batin” atau tempatan semula (moedenederzettingen).
Kemudian ada kampung yang disebut dengan
“anak batin”, yaitu kampung-kampung yang tumbuh kemudian, dikarenakan pemekaran
atau pengembangan lapangan hidup akibat berkembangbiaknya anak-cucu orang batin
itu sendiri. Kontrolir Belanda bernama van De Bor menegaskan dengan istilahnya
kepada anak batin itu ‘dochterschnederzettingen’ atau tepatan anak yang
perempuan, bukan laki-laki. Dochgter adalah anak wanita dan jongens adalah anak
laki-laki.
Nampaknya memang pada orang batin ini lebih
kuat pada dasar ‘keibuan/perempuan’. Contoh: dalam perjodohan, yang menjadi
tempatan adalah wanita, sedang suami adalah orang semenda/orang datang, yang
dalam kekeluargaan itu adalah garis adatnya yang harus dibebankan dan
dipatuhinya, seperti menyisip atap yang bocor, menyirat lantai yang putus,
mengganti tangga yang patah, dsb. Dalam perkawinan itu jika terjadi perceraian,
bagi orang semenda: “harta bawaan kemabli, harta tepatan tinggal”, artinya
harta yang dibawanya pada waktu ia naik rumah isterinya itu baik barang
bergerak atau yang tidak bergerak dapat diambilnya kembali.
Setiap batin itu diberi oleh raja/sultan
sebuah kepingan logam bertulsikan dengan huruf “melayu rencong” yang memuat
status batas kekuasaan satu persatu daerah, desa dikurniakan atau dipinjamkan,
batas rimba penghasil, gelar-gelar kepala batin dan kampung dan sebagainya.
Dapat katakan bahwa piagam itu adalah berupa Surat Keputusan pada masa kini.
Pada wilayah (onderafdeling/kewedanaan) Muara Tembesi sebagian besar berasal
dari ‘batin’ yang dulunya diperuntukkan bagi orang-orang yang mewakili raja,
sampai ke batas bagian Sarolangun.
Ulu Tebo yang rakyat dusunnya tidak
terbilang sebagai orang batin, dipimpin langsung oleh seorang Jenang yang
setiap dua setengah tahun sekali memungut upeti atas dasar – SERAH NAIK , JAJAH
TURUN seperti orang batin, namun mereka tidak berstatus otonomi dimana mereka
bukan barasal dari orang batin. Kemudian diberi batin dengan nama Batin V
dengan ibu negerinya Lubuk Mandarsah, dengan negeri-negerinya di Sumai, Jujuhan
yang Sepayung Tiga Kaki, meliputi dusun-dusun pada sungai Jujuhan hingga pada
wilayah Muaro Bungo, pada zaman Sultan diberi kewajiban pada wilayahnya
sekali dua setengah tahun dikenakan pajak jajah berbahan emas,
sebagai balasan dari pemberian raja sebelumnya yaitu barang besi alat pertanian
atau barang kain serta kebutuhan berupa garam.
Batin di Muaro Bungo itu tercatat –
KEBUNG terdiri Bilangan Limo, Tanah Sepenggal, dan Bantin II. Di bagian
Sarolangun yang dulunya hidup berkelebu-kelebu (sekeluarga) baru dapat
diokordinir oleh Sultan Jambi pada awal abad ke-18, di mana beberapa tempat
telah banyak penghuninya dengan orang orang Suku Pindah dari Minangkabau
dibagian hiir Sungai Limun sebagai pencari emas, namun masih dekat dengan orang
batin (baca bagian “orang penghulu”).
Koordinasi daerah Batin di bagian
Sarolangun ini diatur dalam satu Undang-undang Jambi lama yang berbunyi :
“Adapun perbatasan hutan tanah Luhak
Batin V dalam sungai dengan tanah Batin VIII dan perbatasannya sebelah hilir Danau
Tanjung Dua Belas, padurakso denan tanah Batin VI dan Batin V likur. Rio
Depatinya tumbuh di Lindung, dan undangnya
“Surat Nan Tigo Pucuk, Kelewan nan Tigo
Belah”. Sepucuk Batin V Tembesi dengan pimpinannya bergelar sepucuk di Batin
VIII dengan pimpinannya bergelar Rio, tempat di dusun Penarun, dan
satu pucuk lagi (sekarang Nan III di Batang Asai, yaitu Datuk
Ranggah, Datuk Temenggung dan Datu Demang. Datuk Malinggang dan Datuk
Temenggung di Muaro Limun. Rio tumbuhnya di Lubuk Sepuh, Ladang Panjang dan
Panti yang berkedudukan di Tanjung Gersik Bulan Batin VIII, tempat perkumpulan
musyawarah membawahi beberapa bantin sebagai anak rajo dalam menyelesaikan
perkara yang besar besar dalam Tembesi, tidak boleh di tempat lain. Disitulah
letaknya Balai Sidang atau Rakit, dan karenanya Tanjung Gersik itu dinamakan
“Tanah Nan Kerajaan”.
Gelar pemimpin/kepala Batin yang sudah
dipakai masing-masing antara lain: Depati, Rio, Kedemang, Pasirah, Pemberab,
Temenggung, kecuali pada Batin Pengembang: Rio, Dubalang, dan Menti itu
dilingkungan Batin IV, terdiri dari Batin Pengembang, Kelbu nan V, Sungai
Pinang dan Seluro (bagian Sarolangun pada Batang Asai).
Akhirnya Sultan Jambi mengirim utusannya
kebagian Bangko melakukan usaha pendekatan-pendekatan dengan kepala-kepala kelebu
rakyat, yaitu orang yang sebako seketurunan (batin) untuk tunduk kepada Sultan
sebagai raja Jambi, yang menguasai daerah ini seluruhnya.
Begitulah musyawarah berjalan dengan
baik, dan setelah menyatakan kesedian tunduk ber-raja, kepala-kepala kelompok
seketurunan itu diberi langsung resor tanah hak (HM) dan gelar yang disandang
pemimpin-pemimpinnya sera pucuk pimpinan tertinggi takluknya setempat, yang
dinyatakan semuanya dalam “satu piagam” desa masing-masing.
Umumnya pada masa itu kepala atau pimpinan
adat pada waktu itu bergelar Depati yang berkuasa atas dearahnya, bertanggung
jawab langsung kepada Sultan dengan perantaraan wakilnya, seperti Depati Tanah
Renah, Lubuk Gaung dan Nalo dengan melalui Pangeran Puspo, sebagai wakil Sultan
berkedudukan di Muaro Masumai (Bangko sekarang) Para Depati di bagian Muara
Siau berjenang ke Tembesi, petugas raja berkedudukandi Koto Buayo. Rio Depati
Batin V Tabir, termasuk kekuasaan Jenang bagian Tabir.
Rio Depati negeri Batin di Sarolangun
dan Bangko ini terdiri atas hak otonomi langsung diberi oleh raja dengan status
tanah Hak Milik dan tidak harus diberi jajah atau pajak, seperti pada Batin
yang lain seperti diuraikan sebelumnya, di mana tanahnya berstatus Hak Guna
Pakai. Pada Bangsa XIII tanah desanya oleh raja hanya sebagai pinjaman. Kepala
perwajikilan raja yang ditempatkan di Muaro Masumai yang menguasai wilayah
Bangko dan Merangin diserahkan kepada Temenggung Kabul Dibukit.
-----------------------------------------
Daftar Pustaka :
-----------------------------------------
Daftar Pustaka :
EmoticonEmoticon