SEJARAH PUSAT KERAJAAN MELAYU TUA JAMBI


Kerinci Inspirasi (Red). Ahli sejarah mengemukakan bahwa menurut prasasti  Kubur Rajo, ternyata bahwa Adityawarman adalah putra dari Adwayawarmadewa, mulai menerintah di Kerajaan Melayu pada tahun 1345 M. Menurut buku sejarah melayu yang dikarang oleh Moh. Kasim dan Oejeng S. Gana halaman 105 menerangkan bahwa Adityawarman berasal dari daerah Minangkabau. Ayah bundanya berhubungan erat dengan raja Majapahit yang pertama (Kertajarajasa), Raja Jawanegara adalah pamannya.

Pada tahun 1343 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari Dharmasraya (Sungai Langsat-Sijunjung) ke kaki Gunung Merapi di tepi batang Benkawas. Dia naik nobat menjadi Datuk Seri Maharaja Diraja, yang bersahabat dengan Majapahit dan mengembangkan sayapnya ke seluruh Sumatera dan ke Semenanjung Melayu di seberang Selat Malaka. (A. Ja'far, 1989).

Adapun nama kerajaan dan ibukotanya (hampir selalu kedua nama itu adalah sama baik di India lama maupun di Asia Tenggara) ternyata semua sumber memberikan Melayu atau Melayupura sejak dari prasasti pada dasar Amoghapasa (1286 Masehi) (bhumi malayu, baris ke 4b) sampai dengan prasasti-prasasti Adityawarman. Demikian sebuah prasasti di Pagaruyung, berasal dari Kampung Gudam disekitarnya, menyebut Melayupura pada baris 7 ariandanatrayanartha malayupura…). Prasasti itu sulit dibaca karena tulisannya sudah aus.

Prasasti Amoghapasa, yang menyebutkan nama Melayu, di Padang Roco dekat Sungai Langsat, jadi tidak jauh dari batas Propinsi Riau dengan Propinsi Sumatera Barat. Rupanya ibukota Melayu terletak di sana pada tahun yang sama 1286 Masehi, dan dengan demikian halnya dengan prasasti Adityawarman yang ditulis disisi belakang patung tersebut (baris 24/25 :malayupurahitartihah: ‘yang memperhatikan keselamatan kota Malaya’, yang oleh Kern dianggap sama dengan Malayu. Ternyata bahwa nama Malayu (kalau persamaan nama itu dengan Malaya dapat dipercaya) menunjukkan seluruh lembah sungai Batanghari, termasuk bagian yang sekarang adalah wilayah Provinsi Sumatera Barat, serta ibukotanya.

Prasasti Amoghapasa berangka tahun 1269 Çaka atau 1347 M dengan candrasangkala pataga carane nardanta, menggunakan aksara paska Pallawa dan berbahasa Sansekerta, Jawa Kuno, dan Melayu Kuno, yang terdiri dari 27 baris dalam bentuk sloka 12 bait. Prasasti yang terbuat dari batu andesit (upala praśasti) ini memiliki ukuran tinggi 163 cm dan lebar 97-139 cm dalam kondisi yang cukup baik.

Prasasti ini tertulis di belakang stela (sandaran) patung batu yang disebut paduka Amoghapasa sebagaimana disebutkan dalam prasasti Padang Roco. Pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian patung tersebut untuk menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya. 

Prasasti ini ditemukan di Lubuk Bulang, Desa Rambahan, Kecamatan Pulaupunjung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat, dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.198-6469 (bagian arca). Prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh Kontrolir Twiss kepada Direksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen pada tahun 1884.

Prasasti ini menceriterakan pada tahun 1208 Çaka, atas perintah Raja Kertanegara, sebuah arca Moghapasalokerswara dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditempatkan di Bhumisraya. Pemberian ini membuat rakyat Swarnabhumi bergirang hati, terutama rajanya bernama Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.  

Ibukota kerajaan itu dipindahkan dari Muara Jambi ke darah Sungai Langsat, lalu dari sana dipindahkan ke tempat tempat terakhir –vita atau –cita; dan kemudian, dibawah pemerintahan Adityawarman, dipindahkan ke Suruaso.

Rupanya nama Malayu (Malaya) berlaku untuk seluruh lembah Sungai Batanghari dan sekitarnya, sedangkan Malayupura mengenangi ibukotanya, dimana saja letaknya; hingga akhir abad ke 13 di kota Jambi (yaitu Muara Jambi yang sekarang), kemudian dipindahkan ke sebelah barat, daerah Sungai Langsat.

Mungkin sekali nama Malayu lagi ke daerah Minangkabau pada waktu Adityawarman menetapkan ibukotanya Surawasa, Suruaso dekat Pagarruyung yang sekarang. Namun Casparis (1992) menegaskan bahwa nama Malayu tidak digunakan dalam prasasti-prasasti Adityawarman di daerah Minangkabau. Akan tetapi, pemakaian istilah itu dalam kitab Negarakartagama meberi kesan bahwa nama itu ditengah abad ke 14 Masehi dipakai buat seluruh pulau Sumatera, termasuk Dharmasraya dan Minangkabau.

Dari situ, disimpulkan bahwa raja di Malayu, yaitu Adityawarman, pada zaman itu, diakui Majapahit sebagai raja yang memerintah di seluruh pulau Jawa. Dalam canto 13, verse 2b, kita membaca, sesudah daftar seleruh daerah pulau Sumatera, mulai dari Jambi.

Arti seloka itu barangkali tidak sepenuhnya jelas. Dengan mandala dimaksudkan ‘suasana kewibawaan; menurut kitab Arthasastra istilah tersebut, tah hanya meliputi wilayah-wilayah di bawah pembesar-pembesar yang mengikuti, secara formal, kewibawaan Majapahit. Artinya bahwa kepala daerah itu (wakilnya) diwajibkan menghadapi sang prabhu pada upacara besar. Rupanya kewajiban itu tidak berlaku untuk Adityawarman.

Dalam bab 14 (Canto 83 sampai dengan 91) Prapanca menceritakan upacara kerajaan yang mahabesar, yang dihadiri sekalian pembesar dan pegawai, termasuk wakil-wakil nusantara bahkan dari luar negeri (Jambudwipa = India dan Selanjutnya, tetapi dalam hubungan itu nama Adityawarman atau gelarnya sebagai maharaja Malayu tidak disebutkan. Adityawarman terus memakai gelar-gelar, yang dipegang oleh penguasa tertinggi. Misalnya di prasasti Bukit Gombak (1356 Masehi) sang prabu disebutkan Srimat Sri Adityawarmma Pratapaparakrama Rajendra maulimaniwarmadewa maharajadhiraja, dan seterusnya.Tentu Adityawarman bukan rendah hati, bahkan sebaliknya, ia membanggakan diri atas kekuasaanya.


Dalam hal ini seperti uraian sebelumnya bahwa Adityawarman adalah keturunan Raja Malayu yang memerintah pada tahun 1286 Masehi dan ayahnya, yang bermana Adwayawarman, tidak pernah memerintah sebagai raja. Kebetulan dalam sebuah prasasti Ombilin, yang sekarang bertempat di  pasar ditepi danau Singkarak, terdapat bagian seloka yang mungkin harus diartikan bahwa Adityawarman sebenarnya bukan seorang anggota rajakula di Malayu.

Prasasti Ombilin itu, seperti prasasti Gudam yang disebutkan dengan separo kedua dari seloka pertama (dalam metrum Malini) yang berbunyi:
Nahi-nahi nrpawangsa wangsawidyadharenda
Nahi-nahi … dharmadharmam=adityawarmma//
Itu diterjemahkan: (meskipun) bukan keturunan raja, (namun) ia adalah raja Widyadhara bangsanya. Seloka ini tidak anya memuji Adityawarman yang memerintah selaku seorang raja adil dan sangat pandai, melainkan juga menyinggung asalnya yang bukan keluarga raja.

2 komentar

Koreksi mas, kerjaan seharusnya kerajaan ya?

Alangkah baiknya juga kalau referensinya disebutkan, tapi makasih atas usahanya. ^.^

Koreksi mas, kerjaan seharusnya kerajaan ya?

Alangkah baiknya juga kalau referensinya disebutkan, tapi makasih atas usahanya. ^.^


EmoticonEmoticon