Semenjak berdiri dan munculnya sistem
kedepatian di Alam Kerinci, seluruh kampung dan dusun di Kerinci Tinggi dan
Kerinci Rendah berdiri secara independen dan berdaulat dalam sistem
pemerintahan yang bercorak sendiri. Walaupun sampai dengan pertengahan abad ke
16 Masehi banyak corak dan pola kehidupan dipengaruhi oleh Alam Minangkabau,
Indrapura dan kerajaan Melayu semasa di Dharmasraya dan di Suruaso, namun
secara pemerintahan-pemerintahan tersebut tidak pernah menguasai Alam Kerinci
secara fisik.
Sistem keakraban dan adat di Alam Kerinci
memang banyak dipengaruhi oleh Alam Minangkabau seperti muncul Undang yang
berlaku di Alam Kerinci dan munculnya Kitab Undang-undang Tanjung Tanah yang
berasal dari Kerajaan Melayu Dharmasraya, namun Alam Kerinci mempunyai sistem
adat sendiri yang mengakar dari wilayah Alam Kerinci sendiri.
Semenjak terbentuknya pemerintahan Depati IV
Alam Kerinci pada tahun 1280 Masehi yang semula hanya terdiri dari empat
wilayah kedepatian, yaitu Depati Atur Bumi, Depati Biang Sari, Depati Rencong
Telang dan Depati Muara Langkap, maka secara beperlahan dan bertahap tanah
wilayah kedepatian tersebut dimekarkan. Lembaga Adat masing-masing kedepatian
mempunyai cara tersendiri untuk memekarkan wilayahnya.
1.
Lembaga Adat Wilayah Depati Atur Bumi memekarkan kedepatian berdasarkan
kewilayahan: 1. Tanah Depati Batu Hampar di wilayah Hiyang sampai Sleman; 2. Tanah Depati Mudo Terawang Lidah di Penawar; 3. Tanah
Depati Sirah Mato di Tanah Kampung; 4. Tanah
Depati Tujuh di Sekungkung.
5. Tanah
Depati Situo di Kemantan; 6. Tanah
Depati
Kepalo Sembah di Semurup sampai ke
wilayah gunung Kerinci. Namun demikian dalam wilayah Depati Atur Bumi telah
muncul depati lain seperti Depati Kuning, Depati Taroh Bumi dan Depati Cahaya
Negeri.
2.
Bersamaan dengan
perjalanan Kerajaan Dapati IV Alam Kerinci, semenjak kerajaan Melayu Jambi
dipimpin oleh Panembahan Rantau Kapas atau dikenal juga dengan nama Pangeran
Hilang Diair menjadi raja pada tahun 1515-1540 Masehi menggantikan ayahnya
Orang Kayo Hitam, timbullah niatnya untuk memperluas wilayah sampai ke Alam
Kerinci. Untuk menjalankan misi tersebut maka ditempatkanlah Pangeran
Temenggung Kabul Dibukit sebagai wakil sultan Jambi yang tempatkan di Muaro
Masumai Bangko.
Cara yang dipakai untuk memperluas wilayah
kerajaan Melayu Jambi adalah dengan mendirikan depati-depati baru dan
menyerahkan celak/piagam wilayah kepada masing-masing wilayah kedepatian.
Gelar-gelar depati dan adat lainnya itu diambil atau diturunkan sebagian besar
dari gelar-gelar yang ada di wilayah Depati Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio
Beti, dan juga gelar kedepatian dari wilayah Alam Serampas dan Sungai Tenang.
Dengan demikian di Alam Kerinci semenjak
pertengahan abad ke 16 Masehi terjadi penurunan gelar depati yang dilakukan
oleh Lembaga Adat di wilayah Depati IV Alam Kerinci sendiri dan juga penurunan
gelar adat yang dilakukan pemerintahan kerajaan Melayu Jambi yang berpusat di
Muaro Masumai (Bangko).
3.
Mulai Pertangahan
abad ke 17, Kesultanan Jambi mulai memperluas wilayahnya dan memasukkan Depati
IV Alam Kerinci sebagai bagian wilayah Kesultanan Jambi.Pembagian Kain
Kebesaran oleh Pangeran Temanggung atas perintah Pangeran Adipati Anum Sultan
Agung (Sultan Abdul Djalil) yang
memerintah tahun 1643-1665 M. Pada masa pemerintahan ini pengakuan kewilayahan
dengan tanda penyerahan kain kebesaran oleh Pangeran Temenggung atas nama
Sultan Abdul Djalil ditunjukan kepada Depati Rencong Telang, Depati Biang Sari
dan Depati Muara Langkap. Tergabung dalam wilayah Kedepatian 3 Helai Kain.
4.
Kemudian sebagai
pemekaran dari wilayah Depati Atur Bumi adalah memberikan wilayah Kumun dengan
dikeluarkan piagam untuk depati di Kumun, pada tahun 1112 Hijriah atau tahun
1684 M. Perintah mengeluargankan piagam kewilayahan tersebut oleh Duli Pengeran
Sri Rajo (yaitu Pangeren Tumenggung Kabul Dibukit) di
Merangin mewakili Raja Jambi kepada Depati 1. Depati Galang Negeri, 2. Depati
Nyato Nagaro, 3. Dapati Puro Nagaro dan 4. Dapati Sampurno Bumi Putih beserta
batas daerah kekuasaannya.
5.
Berikutnya, masih di
dalam wilayah Depati Atur Bumi, titah berupa piagam/celak diberikan oleh Sultan
Anum Suria Ingologo mengutus Depati Karta Negara (1112 H atau 1691 Masehi) untuk pemberian
otonomi kepada Sungai penuh; batas
daerah serta jaminan kekuasan kepada Depati Payung datuk Singarapi. Bersamaan
dengan itu diturunkan pula gelar adat lainnya dengan urutan Depati, Menggung,
Menti, Mangku, Rio dan Ngabi.
Dari lembaga ini lahirlah Dapati Nan Batujuh
(Depati Payung, Depati Santi Udo, Depati Sungai Penuh, Depati Palawan Negaro,
Depati Simpan Negeri, Depati Alam Negeri dan Depati Nyato Negaro), Ngebi Tih
Setio, Pemangku nan Baduo; yaitu pertama: Pemangku Rajo (terdiri dari Datuk
Singarapi Putih, Rio Jayo, Rio Mandiho, Rio Tamanggung, Rio Mangku Bumi, Rio
Singaro dan Rio Mandaro), dan kedua: Pemangku Depati (terdiri dari Datuk Cayo
Depati Kodrat, Datuk Cayo Depati Uban dan Datuk Singarapi Gagap). Gelar Depati
Payung dan Santi Udo dianugerahkan oleh Depati Karta Negara yang dibawa dari
wilayah Serampas.
6.
Pemekaran
selanjutnya adalah pemekaran wilayah Siulak yang sebelumnya tergabung ke dalam
wilayah Depati Kepalo Sempah - Semurup, namun pada waktu pemerintahan Depati IV
Alam Kerinci mendapat giliran Depati Biang Sari untuk diangkat sebagai pempimpin
federal, timbul gejolak yang cukup memprihatinkan di wilayah Depati Kepala
Sembah Semurup bahwa pemuka-pemuka adat Siulak berusaha untuk memisahkan diri
dengan wilayah kedepatian Semurup dan sampai terjadi perang antar kampung
(dusun) antara Siulak dan Semurup.
Namun karena kekuasaan raja Jambi sudah
mulai mempengarui dan pemerintahan Depati IV Alam Kerinci, Depati Atur Bumi
belum sempat untuk memekar wilayah kedepatiannya, pimpinan-pimpinan adat
wilayah Siulak berangkat secara bersama-sama menghadap Pageran Tumenggung Kabul
Dibukit untuk menyampaikan aspirasi agar diberi pengakuan wilayah kedepatian
untuk daerah mereka. Maka atas mama Rajo Jambi Pangeran Depo Pangeran Suto,
Pangeran Tumenggung Muaro Masumai memberikan Cap Piagan Tanah Ulayat kepada pimpinan
adat Siulak sebagai tanda berdiri sendiri dan terpisah dari wilayah Depati
Kepalo Sembah di Semurup dengan nama Siula Tanah Sekudung.
Celak/piagam itu
dikeluarkan pada tahun 1116 H, sekali gus membaga tiga gelar adat dari wilayah
Depati Setio Rajo, yaitu: 1. Depati Mangku Bumi, 2. Depati Simpan Bumi, dan 3.
Depati Intan. Dari sinilah turunnya gelar adat yang disandang oleh
depati-depati yang berada dalam kewilayahan Siulak Tanah Sekudung, bukan
diturunkan dari wilayah kedepatian Depati Atur Bumi, sehingga Lembaga Adat
Tanah Sekudung mempunya slogan adat yang berbunyi: Beranjung Lain Tapian Dewek,
Adat Lain Pusako Mencin.
7.
Bersamaan dengan
itu, Pangeran Suta Wijaya atas nama Kerajaan Melayu memberikan piagam kepada
Depati Atur Bumi pada tahun 1116 H sebagai pengakuan wilayah kedepatian
termasuk gelar-gelar depati dan penggawanya yang terlingkup dalam wilayah
Depati Atur Bumi, memberikan pengakutan terhadap wilayah adat Depati Atur Bumi.
Artinya depati-depati beserta wilayah yang sudah terbentu semenjak lahirnya
pemerintahan Depati IV Alam Kerinci diakui secara mutlak untuk memerintah dan
menguasai daerah-daerah yang sudah terbentuk sebelumnya.
Berbeda dengan pemekaran depati di wilayah
Depati Rencong Telang, berdirinya depati baru hanya dua depati yang ditetapkan
mempunyai wilayah yaitu Depati Talago yang menguasai wilayah di sekitar Danau
Kerinci dan selebihnya dibawah kendali Depati Sangkar. Depati-depati lain
diangkat sebagai kembang rekan (kemerkan) seperti Depati Kerinci, Depati
Balinggo, Depati Suko Berajo, Depati Anggo Rajo, dan depati-depati lain yang
dimekarkan bukan berdasarkan wilayah kedepatian.
Pemekaran wilayah Depati Rencong Telang antara lain:
1. Menjuang Alam dengan orang tuanya Menggelegah (6
generasi sesudah Rio Tigo Bangso, nenek orang Lolo) meminta kepada Lembaga Adat
Pulau Sangkar untuk diturunkan gelar depati. Oleh anak jantan Pulau Sangkar
disetujui dan awalnya diturunkan dua gelar depati yaitu Depati Jayo
disandangkan kepada Menjuang Alam dan Depati Kerto Udo disandangkan kepada
Menggelegah. Dari sinilah dimulainya pemekaran wilayah Depati Rencong Telang
yang diberikan kepada anak batinonya. Semenjak itu wilayah Lolo membentuk
lembaga adat sendiri yang disebut dengan Lembaga Adat Lolo yang dipimpin oleh
Depati Jayo. Semenjak itu lembaga adat ini menurunkan beberapa gelar depati,
saya kurang jelas apakah dibentuk sendiri atau diminta lagi gelar tersebut ke
Pulau Sangkar, tolong saudara dari Lolo untuk menelusurinya. Namun yang jelas
pada masa berikutknya untuk mengisi kedepatian Lekuk 50 Tumbi Lempur dimasukan
Depati Mudo dalam bentuk sandang tersangkut di lembaga adat lempur tanpa
kembali ke Lolo, kemudian dari lembaga adat Lekuk 50 Tumbi diturunkan Depati
Parbo untuk dimasukkan ke dalam Lembaga Adat Lolo bukan dalam bentuk bunga
sekaki kembang dua. Gelar Adat Depati Parbo ini dijemput oleh Lembaga Adat
Lekuk 50 Tumbi Lempur ke Balai Panjang di Serampas, kemudian dijemput pertama
kali oleh Lembaga Adat Lolo untuk disandangkan kepada Buyun. Beliau inilah yang
pertama menyandang gelar Depati Parbo, kemudian penyandang kedua adalah Depati
Parbo - Kasib, atau pahlawan Kerinci.
2. Wilayah kedepatian Lekuk 50 Tumbi Lempur adalah wilayah
pemekaran dari wilayah Depati Rencong Telang. Orang pertama yang menuntuk gelar
depati dari daerah Lempur yaitu Mampado cucu dari Depati Talago (Depati Rencong
Telang) pada sekitar 12 generasi ke atas atau lebih kurang 300 tahun yang lalu.
Gelar yang diturunkan adalah Depati Anum dan Depati Agung. Setelah itu wilayah
adat Lempur mempunyai lembaga adat sendiri yang dinamakan Lembaga Adat Alam
Lekuk 50 Tumbi Lempur. Dalam perjalanan yang panjang itu lembaga adat L50T ini
menjemput banyak depati yang marsyal dan kembar rekan beserta ninek mamaknya
dari beberapa lembaga adat antara lain: Lembaga Adat Depati Rencong Telang, Lembaga
Adat Depati Muaro Langkap, Lembaga Adat Depati Sribumi Putih - Serampas,
Lembaga Adat Depati Purwo Menggalo - Serampas, Lembaga Adat kedepatian Tigo
Dibaruh, dan Lembaga adat Lolo. Tentang adanya gelar Depati Anum yang ada di
Tanjung Pauh itu adalah gelar adat yang dibawa oleh salah seorang dari Lempur
yang kawin di Tanjung Pauh, namun walau tidak punya anak, gelar tersebut sudah
melekat di Lembaga Adat Tanjung Pauh dalam bentuk 'bunga sekaki kembang dua',
artinya Depati Anum masih digunakan di Lembaga Adat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur,
dan juga lembaga adat Tanjung Pauh. Pada waktu dulu, setiap ada penggantian
gelar sandang Depati Anum di Tanjung Pauh selalu mengundang resmi kehadiran
depati yang mewakili Lekuk 50 Tumbi Lempur, namun sekarang hubungan itu banyak
tidak diketahui oleh generasi muda sehingga hubungan dua kedepatian itu
terabaikan malah banyak mereka yang tidak mengenal dari mana asalnya.
3. Wilayah kedepatian Rencong Telang sangat luas, sehingga
banyak wilayah kedepatian yang diturunkan dari Lembaga Adat Depati Rencong
Telang. Danau Kerinci waktu dulu disebut dengan Telago, yang dipimpin oleh
Depati Talago - Pulau Sangkar. Karena demi mengisi kelembagaaan depati untuk
daerah yang luas tersebut diturunkan untuk Depati Jujun memimpin wilayah Sigindo
Kumbang beserta dengan ninek mamaknya Rajo Batuah. Kemudian Lembaga adat Jujun
membentuk Lembaga Adat sendiri yang selalu dipimpin oleh Depati Jujun dan ninek
mamak Rajo Batuah. Kemudian dari lembaga ini muncul 6 (enam depati baru)
sehingga wilayah kedepatian ini dipimpin oleh depati nan batujuh dengan pucuk
pimpinan Depati Jujun dan ninek mamak adatnya Rajo Batuah. Ninek mamak inilah
yang bertugas memasuk petang mengeluarkan pagi, dia yang harus tahu
perkembangan sehari-hari kehidupan masyarakat, kalau ada permasalahan atau ada
berita penting melalui ninek mamak inilah akan disampaikan kepada depati nan
batujuh.
Wilayah Depati Muara Langkap tidak
dikembangkan berdasarkan wilayah kedepatian melainkan berdirinya beberapa
kembang rekan dari Depati Muaro Langkap, seperti Depati Miai, Depati Melau,
Depati Miti dan Depati Berau. Keseluruhan wilayah kedepatian mencakup sampai
daerah Pangkalan Jambu.
Wilayah Depati Biang Sari sampai di daerah
Tanjung Simalidu di daerah Pucuk Jambi juga terjadi pemekaran, namun tidak
terdapat informasi yang jelas tentang cara pemekaran wilayah kedepatian. Depati
baru yang muncul di wilayah kedepatian ini adalah Depati Karan Pandan di Pulau
Pandan dan Depati Langit di Tarutung.
Catatan: Belum didapat informasi dan fakta yang lengkap
tentang pengembangan wilayah Depati Muara Langkap dan Depati Biang Sari Kalau
ada pembaca yang mempunyai informasi tersebut atau keterangan lebih lengkap
untuk keseluruhan pengembangan wilayah kedepatian.silakan untuk melengkapi dan
ikut sharing.
Daftar Pustaka :
Daftar Pustaka :
3 komentar
Biar jelas dan jujut tolong dibuat rujukannya, tulisan dikutip dari Blog Aulia Tasman gelar Depati Muaro Langkap.
Melihat kebelakang sewaktu ajung arah kenduri sko pondok tinggi kesalahan terdapat pada urutan duduk para depati dan permanti, dan saya mulai mengerti urutan itu sesuai atung depati nan bertujuh dan permanti nan sepuluh. Dan dari sini saya sangat ingin memahami lebih jauh tentang atung kedepatian kerinci.
Melihat kebelakang sewaktu ajung arah kenduri sko pondok tinggi kesalahan terdapat pada urutan duduk para depati dan permanti, dan saya mulai mengerti urutan itu sesuai atung depati nan bertujuh dan permanti nan sepuluh. Dan dari sini saya sangat ingin memahami lebih jauh tentang atung kedepatian kerinci.
EmoticonEmoticon