Adat Titian
Teras Bertangga Batu. ”
bermakna,suatu upacara adat yang dilakukan secara berkesinambungan dari satu
generasi ke generasi yang berikutnya,upacara adat ini dapat kita saksikan pada
acara “Kenduri Sko”, penobatan Depati, ninik mamak, tindik dabur dan sunat
rasul,khatam Al Qur’an, pernikahan, kehamilan, kelahiran, aqiqah, kerat pusat,
turun keair dan upacara kematian.
1. TITIAN TERAS BERTANGGA BATU
Dalam acara penentuan siapa yang berhak untuk menyandang
gelar pusaka yang belum pegang oleh anak negeri, selalu dinyatakan bahwa
siapapun yang akan terpilih maka harus dilihat “titian teras bertangga
batunya”. Dalam hal ini diartikan bahwa calon pemegang gelar pusaka, terutama
gelar depati, maka si calon harus mempunyai ‘alur dengan patut’. Alur artinya
bahwa yang bersangkutan harus mempunyai garis waris yang ditelusuri sampai ke
ninik moyang baik melalui jalur ibu atau jalur bapak. Misal, siapa yang akan
mewarisi gelar Depati Batu Hampar, maka calon waris depati harus dilihat siapa
orang tuanya, nenek sampai ranji yang lebih tinggi. Kalau ditemukan maka dari
segi alur dia dapat mewariskan gelar tersebut.
Kalau sudah ditemukan barulah dinilai apakah yang
bersangkutan sudah ‘patut’ menyandang gelar tersebut atau tidak. Bisa saja dia
mempunyai hak waris pusaka namun kalau yang bersangkutan bekelakuan tidak baik
atau tidak sehat secara rohani atau jasmani, atau mungkin pula tidak kuat
secara ekonomi, bodok atau idiot, dan kafir atau jahil, dan lainnya maka calon
yang mempunyai hak waris gelar pusaka tersebut namun dari segi kepatutan tidak
memungkinkan gelar tersebut disandangkan kepadanya.
Titian teras bertangga batu sering pula dilihat dari segi
makna dari pemberian gelar, bahwa biasanya gelar adat itu disebut dengan ‘seko’
artinya gelar tersebut berhak disandang oleh warisnya, kemudian disertai pula
dengan ‘pusako’, artinya bahwa setiap gelar yang disandang diikuti pula oleh
wilayah adat yang harus dipertanggung jawabkan. Misal gelar pusaka Dapati Muaro
Langkap adalah gelar yang diwariskan dari keturunan Sigindo Bauk di Tamiai
dengan wilayah Tamiai sampai ke Pangkalan Jambi dan Sungai Manau. Dalam hal ini
tidak mungkin yang akan menyandang gelar depati tersebut adalah orang yang
berasal di luar wilayah tersebut misalnya akan diambil calon dari wilayah
Depati Atur Bumi atau wilayah depati lainnya, karena dia disebut ‘tidak ada
teras bertangga batunya’.
Pengertian lain dari Titian Teras Bertangga Batu dapat pula
dijumpai dalam “Induk Undang Tambang Taliti” atau hukum dasar yang jadi dasar
Pemerintahan Adat Alam Kerinci dulunya, yang terdiri dari lima kalimat sakral
dan sakti, berisi keyakinan yang sangat medalam, falsafah hidup dan janji setio
orang Kerinci, selama masih mengaku beragama Islam dan akan kafir bila tidak
setuju. Jadi yang dimaksud dengan "Titian Teras Betanggo Batu" adalah
merupakan hukum dasar dari hukum Adat yang Bersendikan Syarak dan Syarak yang
Bersendikan Kitabullah.
TITIAN TERAS, adalah ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an
dan disebut wahyu, sedangkan TANGGA BATU adalah Ayat Allah yang berupa
ciptaan-Nya yaitu alam semesta ini. Karena Ayat Allah itu dua macam: Pertama
ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an yang disebut wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasul untuk disampaikan kepda umatnya. Ketua ayat Allah
berupa alam hasil ciptaanNya. Keduanya wajib seimbang dilaksanakan, bila ayat
Allah berupa wahyu tidak dilaksanakan maka ayat Allah berupa alam murka,
akibatnya manusia akan menuai badai bencana alam. Jadi Titian Teras Bertangga
Batu adalah Sunnah Allah, dia adalah hukum yang tertinggi datang dari Allah,
hukum dalam konteks ini adalah aturan theorik, jalan mendapat keadilan dan
kebahagiaan, dengan menemputh titian dan tanggo untuk mencapai adil dan bahagia
Hidup Jayo Mati Sempurno.
Maka titian hukum harus kokoh dan kuat berupa teras dan
tanggo hukum harus kukoh buat berupa batu itulah ayat Allah Swt, isinya tidak
mungkin bisa dirobah dan tidak ada campur tangan manusai, ia harus lebih tinggi
berada dipucuk menjadi hukum dasar dan pedoman, hukum yang datang dari Allah,
pucuk dari segala aturan hukum tidak ada lagi aturan hukum yang lebih tinggi
dari itu, karena aturan hukum dipucuk bukan buatan manusia tetapi Sunnah Allah.
Bila tidak dilaksankan kafirlah hukumnya dan azab adalah balasannya.
2. CERMIN GEDANG NAN DAK KABUR
Adapun cermin gedang nan dak kabur adalah kita suci Al
Qur’an, kitab yang tidak pernah diubah baik kalimat, bari huruf maupun titik
sejak diwahyukan hingga sekarang dan tidak ada yang mampu merobahnya, karena
dijamin oleh Allah Swt, “Sesungguhnya kami lah yang menurunkan Al Qur’an dan
kami benar-benar memeliharanya” (Al Qur’an 15:9).
Kitab itu dijadikan cermin yang tidak kabur dalam hukum adat,
artinya tidak bisa berobah oleh siapapun, wajib dilaksanakan kapan dan dimana
saja, tanpa terikat dengan tempat dan waktu, ia tidak bisa dirobah oleh siapa
saja. Begitulah hukum Islam, dan begitu juga hukum yang dibuat, jangan berobah
dek saudagar lalu, jangan diasak dek dagang lewat, dirobah dek ada kepentingan,
hukum harus tegak kokoh sepanjang waktu. Jalan barambah yang harus diturut,
baju bajahit wajib dipakai, sudah bersesap berjerami, batunggul bapamaerh,
bapendam pekuburuan. Dahulu orang membunuh dijatuhi bangun, terjadi sko maka
hukumnya begitu juga, itulah cermin yang tak kabur.
3. LANTAK NAN DAK GOYAH
Bahwa Lantak nan Dak Goyah kaping dak tagenou, adalah Sunnah
Rasul berupa hadis Nabi, hukum yang datang dari Nabi adalah untuk melaksanakan
ayat-ayat Allah, dan sunnah Rasul yang termuat dalam Hadis Nabi Muhammad Saw,
tidak boleh diubah dan tidak mungkin dirobah-robah atau digeser-geser lagi.
Hadis-hadis Nabi itu diibaratkan dengan sebuat lantak, yang
pangkal lantak diberi kaping atau ikat atau empelang kuat, supaya tidak pecah
saat dipukul, ia boleh dipukul dengan apa saja tidak akan pecah. Maka lantak
dipukul agar tacacak (tertanam) dalam-dalam sehingga tidak goyah. Begitulah
hukum adat yang yang benar, kata benar tidak boleh diubah-ubah, tanpa pandang
bulu tanpa tebang pilih, yang salah harus salah, yang benar harus benar, tidak
pandang siapa dia.
4. KATO MUFAKAT
Bahwa Kato Mufakat, adalah Ulil amri minkum, yaitu putusan
Raja yang adil dibuat dengaN mupakat wajib diikuti, karena taat kepada Allah
dan taat kepada Rasul dan Ulil Amri (pemimpin) yang adil adalah wajib. Maka itu
kato mupkat adalah merupakan 'faktua sun sevanda' (istilah hukum), yaitu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai hukum.
Kata Mufakat adalah “Kato seorang dibulatkan kato basamo
dimufakati, mencari kato sebuah dikaji sampai ke embun padu dibaco sampai ke
kesik janim, dicucuk sehabis ari dikikis sehabis besi, ditakik darah ketian
dicaru kutu keijuk, dimano garis situ diukur mano dicoreng situ dipahat.
Tapaut makanan lantak takurung makan kunci, saukou maka jadi
sesuai maka dikenak, tentu ketak dengan bulaanca denga ruwas, lah dapat kato
seiyo betemu kato sebuah, pipih tidak bersudut boleh dilayangkan, bulat tidak
bersanding boleh digulingkan, bulat air dek pembuluh bulat kato dek mufakat dan
tumbuh dari bumi”.
5. DAK LAPUK DEH HUJAN DAL LEKANG DEK PANEH
Bahwa kata-kata tidak lapuk karena hujan tidak lekang karena
panas, mengandung arti: Pertama, menujuk kepada yang empat di atas, yaitu
titian teras batanggo batu, cermin gedang nan tak kabur, lantak dalam nan tak
goyah kaping itda tagensou, dan kata mufakat, keempat itu tidak mungkin lekang
atau lapuk (buruk) dalam hujan atau panas, dia bagaikan batang pohon yang selalu
hidup.
Kedua, adalah kebulatan tekat dan janji sumpah setio orang
Jambi, untuk melaksanakan hukum secara konsisten, dan konsekwen bertanggung
jawab kepada Allah, untuk melaskanakan hukum tanpa ragu-ragu dan semuanya sudah
dicucui sehabis ari, dikikis sehabis besi, diasak layu dianggo mati, tekat dan
pengakuan yang tak lekang dan tak lapuk, itulah pengakuan batin penegak hukum
adat.
Daftar Pustaka :
Daftar Pustaka :
1 komentar:
Blog ini merupakan Blog Insan Kreatif bukan Negatif, tapi mohon maaf, awal cerita sudah mulai dengan sebuah kalimat negaf thinking seperti "Banyak ahli adat di Jambi kurang memahami arti yang sebenarnya apa yang dimaksud dengan Titian Teras Bertangga Batu"
EmoticonEmoticon