Suku Anak Dalam Sumatera Yang Terasingkan Dan Terlupakan


Kerinci Inspirasi (Red). Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Ada banyak versi tentang asal-usul (salah satu) suku asli Sumatra yang hidup nomaden di hutan ini. Salah satunya, versi Departemen Sosial (1988) dalam seri masyarakat terasing di Nusantara.  Disebutkan, pada pertengahan abad 17 terjadi perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin Puti Selaras Pinang Masak dengan Kerajaan Tanjung Jabung pimpinan Rangkayo Hitam. Raja Pagaruyung di tanah Minang, yang merupakan ayahanda dari Puti Selaras Pinang Masak, memutuskan untuk mengirim pasukan bantuan ke Kerajaan Jambi. Namun karena jarak yang ditempuh terlalu jauh, medannya sangat berat, dan kehabisan persediaan makanan, para prajurit itu tidak mampu mencapai Kerajaan Jambi. Tapi karena tak ingin menanggung malu bila pulang kembali ke Pagaruyung, mereka memutuskan untuk tinggal selamanya di hutan. Mereka itulah yang kemudian menjadi SAD.

Versi lain (Van Dongen, 1906) mengatakan, SAD adalah salah satu kelompok Melayu Tua dari rumpun Melanesia, sama seperti suku Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Batak pedalaman, dan Papua. Kelompok masyarakat Melayu Tua ini merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (Cina selatan) yang masuk ke wilayah Nusantara sekitar tahun 2000 SM. Mereka kemudian lari dan tersingkir ke hutan ketika datang kelompok Melayu Muda yang mengusung peradaban lebih tinggi.

Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan. Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam

Penyempitan dan penyingkiran Orang Rimba dari habitatnya, yakni hutan-hutan primer, telah berlangsung sejak dahulu. Bagaimana hidup mereka bila tidak ada hutan-hutan, habitat mereka. Ini adalah masalah kronis yang memerlukan penanganan dengan pendekatan yang berpusat pada perlindungan dan penyediaan habitat dan ruang hidup mereka. Tanpa hal ini perlindungan dan penyediaan.

Kebun kelapa sawit itu adalah kebun para petani plasma. Inti dari usaha perkebunan sawit itu dimiliki oleh perusahaan nasional. Meluasnya perkebunan kelapa sawit, baik dari perusahaan-perusahaan maupun para petani plasma, telah ikut mengubah habitat Orang Rimba. Sebelumnya, habitat Orang Rimba telah menyempit akibat konsesi-konsesi kehutanan yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH (Hak penguasaan Hutan) dan HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman industri), juga oleh perluasan permukiman dan ladang pertanian para petani transmigran.

Sebaran Orang Rimba berada di wilayah Kabupaten Sarolangun, Kabuaten Merangin, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari. Populasi terbanyak mereka sekitar 1.500 an orang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT), dan sebagian lagi berada tersebar di wilayah-wilayah konsesi kehutanan (perusahaan Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit, dan di sepanjang Jalan Lintas Sumatra Sarolangun Bungo.

Marjinalisasi (pemingiran/pembatasan) Orang Rimba dimulai awal dekade tahun 1970-an ketika 16 perusahaan HPH melakukan pembalakan kayu dengan total luasan konsesi 1,6 juta hektar. Selanjutnya marjinalisasi berlangsung akibat perluasan perkebunan sawit seluas 168.332 hektar, Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 732.713 hektar serta lahan transmigrasi yang luasnya mencapai 300.000 hektar. Dari kajian WARSI tahun 2013 jumlah Orang Rimba di Jambi berjumlah 3.900 jiwa. Jumlah mereka ini jauh lebih banyak dari yang tinggal di setidaknya 5 lokasi Perumahan Sosial yang disediakan Kementerian Sosial. Menurut peneliti WARSI, diperkirakan di lokasi Karya Bakti, tersedia sekitar 60 rumah, Di Lokasi Air Hitam 50 rumah, Di lokasi Pemenang 40 rumah, di lokasi Kungkai 20 rumah, Lubuk Bedorong 30 rumah.


Sebagian besar kelompok Orang Rimba Jalan Lintas Sumatra menggantungkan hidup dari berburu babi, mengumpulkan pinang dari masyarakat sekitar, mengumpulkan bibit karet, mencari pete atau jengkol, mencari brondol sawit, sampai pengumpul barang bekas. Selain itu sebagian dari mereka menjalani menjadi orang miskin dengan pekerjaan yang tidak menentu beredar di desa hingga ke kota kabupaten dan kota provinsi untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Memang sejumlah Orang Rimba Jalan lintas Sumatra telah mendapatkan fasilitas rumah di Perumahan Sosial dari pemerintah. Warsi mencatat faktor terpenting dalam program pemukiman bagi Orang Rimba adalah penyediaan lahan sebagai sumber penghidupan yang berkelanjutan untuk pertanian maupun untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan di sekitar tempat tinggal mereka.

Mengubah kondisi kehidupan Orang Rimba saat ini agar menjadi lebih baik memerlukan arah rute jalan yang tepat. Kalau selama ini arus besarnya yang mereka hadapi menyempitkan habitat ruang hidup Orang Rimba, dan gelombang arus ini masih terus datang, maka yang musti dibangun adalah arus balik dengan melindung dan menyediakan habitat ruang hidup Orang Rimba. Masalah kronis Orang Rimba tidak bisa diselesaikan tanpa kombinasi pengabdian, kerja keras, dan arah rute jalan tepat.


------------------------------------------------------------------------
DAFTARA PUSTAKA :

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kubu


EmoticonEmoticon