RUMAH TRADISIONAL SUKU MELAYU ALAM KERINCI


Kerinci Inspirasi (Red). Desain tradisional rumah Kerinci adalah seni merancang bangunan yang bentuk, struktur, fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dan sebagai salah satu identitas serta dapat memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu. Rumah tradisional Kerinci, yakni umoh laheik atau umoh panja, keberadaannya kini semakin langka.

Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh sebagai merupakan daerah di Provinsi Jambi, Indonesia. Alam Kerinci dimekarkan menjadi dua wilayah yaitu Kabupaten Kota Madya Sungai Penuh Pada tahun 2011.

Pada arsitektur tradisional Kerinci, mengambarkan bentuk sosial, material, kebudayaan. Rumah tradisional Alam Kerinci adalah rumah panjang atau yang disebut juga "umoh panja" atau "umoh larik" atau "umoh laheik", yang merupakan bangunan panjang berbentuk panggung yang terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang saling sambung menyambung yang berfungsi sebagai rumah tinggal keluarga atau tumbi.

Rumah Tradisional Alam Kerinci disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret. Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” yang terdiri dari satu keturunan, atau rumpun. Setiap rumpun dipimpin oleh seorang ninik mamak.

Rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk panggung, tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung dari banyaknya keluarga yang menghuninya. Setiap keluarga atau tumbi mendiami satu petak, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum menikah. Ukuran tiap petak bangunan pada umumnya panjang 5 depa dan lebarnya depa (8 meter x 6 meter). Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.

Pada umumnya Konstruksi bangunan tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku,  hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.

Penutup bangunan atau atap pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk, serta ada yang mengunakan genteng dari kayu.

Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah, kemudian perkembangannya masyarakat mengunakan papan kayu surian dan diber gambar ornament ukiran.
Jendela yang disebut “singap, ada  juga yang menyebut Ntuhi/Ntuhei” sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir.

Sementara bagian bawah yang disebut “umin/uming” sering hanya sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala, atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena tempat bermain anak-anak.

Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut “hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Sering digunakan keluarga dirumah tersebut menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga.

Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum "sebuk kawo" atau kopi dan mengisap rokok lintingan daun enau.

Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan. Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang biasanya sangat luas dan panjang.

Di depan tangga terdapat tempat pencucian kaki ketiga hendak naik kerumah, tempat pencucian kaki tersebut terbuat dari kayu yang dibuat seperti lesung tempat menumbuk padi selain dari kayu tempat pencucian kaki tersebut juga bisa terbuat dari batu.

Rumah tradisonal suku melayu Alam Kerinci juga terdapat rumah bilik disampingnya atau didepan rumah, yang berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, ubi dan lainnya. (Dodi_Red).


EmoticonEmoticon