SUKU KADIPAN MERANGIN - JAMBI


Suku Kadipan yang ada di Merangin sangat erat kaitannya dengan keberadaan Tummenggung Kabul Dibukit sebagai wakil raja Jambi yang ditempatkan di Muaro Masumai. Kehadiran Tummenggung Kabul Dibukit awalnya adalah pada waktu terjadinya perang antara Kerinci (Kerinci Tinggi dan Rendah) dengan kerajaan Tanah Pilih Jambi sebagai akibat dari keinginan kerajaan Tanah Pilih untuk menguasai wilayah Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Rakyat Kerinci merasa bahwa semenjak masa sebelumnya belum pernah raja Jambi sampai ke Kerinci, namun tiba-tiba dengan paksa harus tunduk kepada Raja Jambi dan harus membayar uang ‘jajah’.
Tentu saja rakyat Kerinci tidak bersedia untuk membayar upeti dan uang jajah tersebut dan mereka terpaksa berperang melawan tentara kerajaan Tanah Pilih, jadi bukan karena Tiang Bungkuk berkianat kepada Raja Jambi, beliau sebagai pemimpin wilayah pada waktu merasa bertanggung jawab kepada rakyatnya sehingga dengan mati-matian mengkonsolidasikan rakyat untuk mempertahankan diri dari serangan raja Jambi.
Ini adalah hal yang wajar kalau Tiang Bungkuk tidak rela rakyat harus menderita harus membayar uang jajah dan upeti kepada raja Jambi. Peperangan dipimpin oleh Tiang Bungkuk gelar Depati Muaro Langkap yang berpusat di Tamiai. Perang ini memakan banyak korban, dipihak kerajaan Melayu Tanah Pilih jatuh korban sebanyak 40 orang jenang, dan tidak terhitung tentara dan dubalang Jambi yang tewas.
Karenan Kerinci tidak mau tunduk dan dijajah oleh kerajaan Melayu Tanah Pilih, raja kerajaan Jambi pada waktu itu adalah Pangeran Hilan Diari meminta bantuan ke Raja Majapahit agar mengirim panglima perang membantu perang dengan rakyat Kerinci pada tahun 1532 masehi. Hubungan baik antara kerajaan Melayu Jambi dengan kerajaan Majapahit telah terjadi sebelumnya karena Orang Kayo Hitam pernah dididik di kerajaan ini dan kawin dengan anak salah seorang petinggi kerajaan Majapahit.
Panglima perang yang dikirim itu bernama Pangeran Tummenggung. Karena kepiawaian dalam mengatur siasat perang akhirnya Pangeran Tummenggung dapat mengalahkan Kerinci dan sekali gus diangkat menjadi raja Pucuk Jambi yang beristana di Muaro Masumai – Bangko.
Setelah Tiang Bungkuk tertangkap, dengan kejam dan diluar peri kemanusiaan beliau diperlakukan semena-mena, diejek, disiksa, direndam dalam air, dan banyak kekejaman lain yang dilakukan oleh tentara kerajaan Tanah Pilih sepanjang jalan dari Kerinci sampai ke Jambi. Sesampai di Jambi beliau dikurung dan disiksa dengan kejam dan dituduh tidak tunduk kepada raja, dan nama beliau diganti dengan Tiang Bungkuk Mandugo Rajo, atau Tiang Bungkuk yang tidak tunduk kepada raja.
Sebagai hadiah dari keberhasilan mengalahkan Kerinci tersebut Pangeran Tummenggung diangkat menjadi Raja Pucuk Jambi Sembilan Lurah dengan penguasaan wilayah Kerinci dan Merangin. Beliau berkuasa sejak tahun 1526-1664 masehi. Istana raja di Muaro Masumai termasuk ke dalam wilayah Depati Setio Rajo.
Semenjak itulah Raja Pucuk Jambi itu melaksanakan tugas memperluas wilayah kerajaan Tanah Pilih Jambi dengan cara memberi piagam dan celak kepada daerah-daerah di kawasan Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah sebagai tanda tunduk kepada kerajaan Tanah Pilih Jambi, termasuk menerapkan hukum “Adat bersendi syarak – syarak bersendi Kitabullah) di wilayah Kerinci.
Gelar-gelar depati yang anugerahkan kepada beberapa wilayah pemekaran dari pemerintahan Depati IV Alam Kerinci adalah gelar tinggi yang diambil dari gelar yang ada di wilayah kedapatian Setio Rajo, Setio Beti dan Setio nyato, bukan gelar dari kerajaan Tanah Pilih Jambi. Gelar yang diberikan kepada kedepatian Siulak dan Semurup salah satunya adalah berasal dari gelar-gelar yang ada di wilayah Depati Setio Rajo.
Kehadiran Pangeran Tummenggung di Alam Kerinci disertai dengan kehadiran beberapa keluarga kerjaan Tanah Pilih yang ditempatkan di istana kerjaaan Pucuk Jambi. Kehadiran dari keluarga kerajaan di daerah Pucuk Jambi yang berpusat di Merangin inilah asal muasal Suku Kadipan, yaitu garis keturunan yang diwariskan dari Pangeran Tummenggung.
Rapat Adat di Bukit Sitinjau Laut diwakili oleh beliau sebagai wakil dari raja Tanah Pilih Jambi. Setelah meninggal Pangeran Tummenggung Kabul Dibukit, beliau digantikan oleh anaknya Pangeran Mulo Agamo.
Sewaktu rejadi perubahan pimpinan di wilayah kerajaan Tanah Pilih Jambi, dimana Kerajaan Melayu Jambi berubah nama dengan Kesultanan Melayu Jambi, Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar diangkat menjadi sultan yang memerintah dari 1615-1643 masehi kemudian digantikan oleh anaknya Sultan Abdul Jalil 1643-1665 masehi dan digantikan oleh Sultan Abdul Muhyi (Sultan Ingologo) pada tahun 1665-1690 masehik tidak diakui oleh penjajah Belanda, kemudian Belanda mengangkat Raden Candra menjadi Sultan.
Kemudian, sejak tahun 1664 masehi daerah Pucuk Jambi kruang dipedulikan oleh Rajo Melayuh Tanah Pilih Jambi, sehingga pemerintahan langsung oleh para depati yang bersifat Uni, daeri ini adalah Kerinci dan Merangin, sejak meninggalnya Pangeran Mulo Agamo pada tahun 1664 masehi, semua urusan pemerintah berasal dari Depati diteruskan ke Rajo melalui Jenang, sedangkan humum tetap dipegan oleh Kepala Adat seperti sebelumnya.

Semenjak itulah kaum Kadipan ini tidak mempunyai kedudukan yang pasti di daerah Kerinci dan Merangin, dan sebagian besar mereka kembali ke kesultanan Jambi, dan keturunan ini banyak pula yang merantau ke Malaysia dan banyak pula yang berhasil disana. Mereka tidak mempunyai garis keturunan untuk diangkat menjadi raja di Kesultanan Jambi karena tidak mengakar di daerah Pucuk Jambi dan mereka adalah bagian dari keluarga kerajaan Jambi yang berkembang di daerah hulu, kemudian yang kembali ke Jambi membaur dan berasimilasi dengan keluarga kerajaan, dan dari sanalah timbul kembali pangeran yang diperhitungkan dalam keluarga kesultanan Jambi 

SEJARAH GELAR ADAT ALAM KERINCI SERTA WILAYAH ADAT DAN KEDEPATIAN


Semenjak berdiri dan munculnya sistem kedepatian di Alam Kerinci, seluruh kampung dan dusun di Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah berdiri secara independen dan berdaulat dalam sistem pemerintahan yang bercorak sendiri. Walaupun sampai dengan pertengahan abad ke 16 Masehi banyak corak dan pola kehidupan dipengaruhi oleh Alam Minangkabau, Indrapura dan kerajaan Melayu semasa di Dharmasraya dan di Suruaso, namun secara pemerintahan-pemerintahan tersebut tidak pernah menguasai Alam Kerinci secara fisik.

Sistem keakraban dan adat di Alam Kerinci memang banyak dipengaruhi oleh Alam Minangkabau seperti muncul Undang yang berlaku di Alam Kerinci dan munculnya Kitab Undang-undang Tanjung Tanah yang berasal dari Kerajaan Melayu Dharmasraya, namun Alam Kerinci mempunyai sistem adat sendiri yang mengakar dari wilayah Alam Kerinci sendiri.

Semenjak terbentuknya pemerintahan Depati IV Alam Kerinci pada tahun 1280 Masehi yang semula hanya terdiri dari empat wilayah kedepatian, yaitu Depati Atur Bumi, Depati Biang Sari, Depati Rencong Telang dan Depati Muara Langkap, maka secara beperlahan dan bertahap tanah wilayah kedepatian tersebut dimekarkan. Lembaga Adat masing-masing kedepatian mempunyai cara tersendiri untuk memekarkan wilayahnya.

1.        Lembaga Adat Wilayah Depati Atur Bumi memekarkan kedepatian berdasarkan kewilayahan: 1.  Tanah Depati Batu Hampar di wilayah Hiyang sampai Sleman; 2.  Tanah Depati Mudo Terawang Lidah di Penawar; 3.  Tanah Depati Sirah Mato di Tanah Kampung; 4.  Tanah Depati Tujuh di Sekungkung.

5.  Tanah Depati Situo di Kemantan; 6.  Tanah Depati Kepalo Sembah di Semurup sampai ke wilayah gunung Kerinci. Namun demikian dalam wilayah Depati Atur Bumi telah muncul depati lain seperti Depati Kuning, Depati Taroh Bumi dan Depati Cahaya Negeri.

2.        Bersamaan dengan perjalanan Kerajaan Dapati IV Alam Kerinci, semenjak kerajaan Melayu Jambi dipimpin oleh Panembahan Rantau Kapas atau dikenal juga dengan nama Pangeran Hilang Diair menjadi raja pada tahun 1515-1540 Masehi menggantikan ayahnya Orang Kayo Hitam, timbullah niatnya untuk memperluas wilayah sampai ke Alam Kerinci. Untuk menjalankan misi tersebut maka ditempatkanlah Pangeran Temenggung Kabul Dibukit sebagai wakil sultan Jambi yang tempatkan di Muaro Masumai Bangko.
Cara yang dipakai untuk memperluas wilayah kerajaan Melayu Jambi adalah dengan mendirikan depati-depati baru dan menyerahkan celak/piagam wilayah kepada masing-masing wilayah kedepatian. Gelar-gelar depati dan adat lainnya itu diambil atau diturunkan sebagian besar dari gelar-gelar yang ada di wilayah Depati Setio Nyato, Setio Rajo dan Setio Beti, dan juga gelar kedepatian dari wilayah Alam Serampas dan Sungai Tenang.
Dengan demikian di Alam Kerinci semenjak pertengahan abad ke 16 Masehi terjadi penurunan gelar depati yang dilakukan oleh Lembaga Adat di wilayah Depati IV Alam Kerinci sendiri dan juga penurunan gelar adat yang dilakukan pemerintahan kerajaan Melayu Jambi yang berpusat di Muaro Masumai (Bangko).

3.        Mulai Pertangahan abad ke 17, Kesultanan Jambi mulai memperluas wilayahnya dan memasukkan Depati IV Alam Kerinci sebagai bagian wilayah Kesultanan Jambi.Pembagian Kain Kebesaran oleh Pangeran Temanggung atas perintah Pangeran Adipati Anum Sultan Agung (Sultan Abdul Djalil)  yang memerintah tahun 1643-1665 M. Pada masa pemerintahan ini pengakuan kewilayahan dengan tanda penyerahan kain kebesaran oleh Pangeran Temenggung atas nama Sultan Abdul Djalil ditunjukan kepada Depati Rencong Telang, Depati Biang Sari dan Depati Muara Langkap. Tergabung dalam wilayah Kedepatian 3 Helai Kain.

4.        Kemudian sebagai pemekaran dari wilayah Depati Atur Bumi adalah memberikan wilayah Kumun dengan dikeluarkan piagam untuk depati di Kumun, pada tahun 1112 Hijriah atau tahun 1684 M. Perintah mengeluargankan piagam kewilayahan tersebut oleh Duli Pengeran Sri Rajo  (yaitu  Pangeren Tumenggung Kabul Dibukit) di Merangin mewakili Raja Jambi kepada Depati 1. Depati Galang Negeri, 2. Depati Nyato Nagaro, 3. Dapati Puro Nagaro dan 4. Dapati Sampurno Bumi Putih beserta batas daerah kekuasaannya.
5.        Berikutnya, masih di dalam wilayah Depati Atur Bumi, titah berupa piagam/celak diberikan oleh Sultan Anum Suria Ingologo mengutus Depati Karta Negara  (1112 H atau 1691 Masehi) untuk pemberian otonomi kepada Sungai  penuh; batas daerah serta jaminan kekuasan kepada Depati Payung datuk Singarapi. Bersamaan dengan itu diturunkan pula gelar adat lainnya dengan urutan Depati, Menggung, Menti, Mangku, Rio dan Ngabi.
Dari lembaga ini lahirlah Dapati Nan Batujuh (Depati Payung, Depati Santi Udo, Depati Sungai Penuh, Depati Palawan Negaro, Depati Simpan Negeri, Depati Alam Negeri dan Depati Nyato Negaro), Ngebi Tih Setio, Pemangku nan Baduo; yaitu pertama: Pemangku Rajo (terdiri dari Datuk Singarapi Putih, Rio Jayo, Rio Mandiho, Rio Tamanggung, Rio Mangku Bumi, Rio Singaro dan Rio Mandaro), dan kedua: Pemangku Depati (terdiri dari Datuk Cayo Depati Kodrat, Datuk Cayo Depati Uban dan Datuk Singarapi Gagap). Gelar Depati Payung dan Santi Udo dianugerahkan oleh Depati Karta Negara yang dibawa dari wilayah Serampas.

6.        Pemekaran selanjutnya adalah pemekaran wilayah Siulak yang sebelumnya tergabung ke dalam wilayah Depati Kepalo Sempah - Semurup, namun pada waktu pemerintahan Depati IV Alam Kerinci mendapat giliran Depati Biang Sari untuk diangkat sebagai pempimpin federal, timbul gejolak yang cukup memprihatinkan di wilayah Depati Kepala Sembah Semurup bahwa pemuka-pemuka adat Siulak berusaha untuk memisahkan diri dengan wilayah kedepatian Semurup dan sampai terjadi perang antar kampung (dusun) antara Siulak dan Semurup.

Namun karena kekuasaan raja Jambi sudah mulai mempengarui dan pemerintahan Depati IV Alam Kerinci, Depati Atur Bumi belum sempat untuk memekar wilayah kedepatiannya, pimpinan-pimpinan adat wilayah Siulak berangkat secara bersama-sama menghadap Pageran Tumenggung Kabul Dibukit untuk menyampaikan aspirasi agar diberi pengakuan wilayah kedepatian untuk daerah mereka. Maka atas mama Rajo Jambi Pangeran Depo Pangeran Suto, Pangeran Tumenggung Muaro Masumai memberikan Cap Piagan Tanah Ulayat kepada pimpinan adat Siulak sebagai tanda berdiri sendiri dan terpisah dari wilayah Depati Kepalo Sembah di Semurup dengan nama Siula Tanah Sekudung.

Celak/piagam itu dikeluarkan pada tahun 1116 H, sekali gus membaga tiga gelar adat dari wilayah Depati Setio Rajo, yaitu: 1. Depati Mangku Bumi, 2. Depati Simpan Bumi, dan 3. Depati Intan. Dari sinilah turunnya gelar adat yang disandang oleh depati-depati yang berada dalam kewilayahan Siulak Tanah Sekudung, bukan diturunkan dari wilayah kedepatian Depati Atur Bumi, sehingga Lembaga Adat Tanah Sekudung mempunya slogan adat yang berbunyi: Beranjung Lain Tapian Dewek, Adat Lain Pusako Mencin.

7.        Bersamaan dengan itu, Pangeran Suta Wijaya atas nama Kerajaan Melayu memberikan piagam kepada Depati Atur Bumi pada tahun 1116 H sebagai pengakuan wilayah kedepatian termasuk gelar-gelar depati dan penggawanya yang terlingkup dalam wilayah Depati Atur Bumi, memberikan pengakutan terhadap wilayah adat Depati Atur Bumi. Artinya depati-depati beserta wilayah yang sudah terbentu semenjak lahirnya pemerintahan Depati IV Alam Kerinci diakui secara mutlak untuk memerintah dan menguasai daerah-daerah yang sudah terbentuk sebelumnya.

Berbeda dengan pemekaran depati di wilayah Depati Rencong Telang, berdirinya depati baru hanya dua depati yang ditetapkan mempunyai wilayah yaitu Depati Talago yang menguasai wilayah di sekitar Danau Kerinci dan selebihnya dibawah kendali Depati Sangkar. Depati-depati lain diangkat sebagai kembang rekan (kemerkan) seperti Depati Kerinci, Depati Balinggo, Depati Suko Berajo, Depati Anggo Rajo, dan depati-depati lain yang dimekarkan bukan berdasarkan wilayah kedepatian.

Pemekaran wilayah Depati Rencong Telang antara lain:
1.     Menjuang Alam dengan orang tuanya Menggelegah (6 generasi sesudah Rio Tigo Bangso, nenek orang Lolo) meminta kepada Lembaga Adat Pulau Sangkar untuk diturunkan gelar depati. Oleh anak jantan Pulau Sangkar disetujui dan awalnya diturunkan dua gelar depati yaitu Depati Jayo disandangkan kepada Menjuang Alam dan Depati Kerto Udo disandangkan kepada Menggelegah. Dari sinilah dimulainya pemekaran wilayah Depati Rencong Telang yang diberikan kepada anak batinonya. Semenjak itu wilayah Lolo membentuk lembaga adat sendiri yang disebut dengan Lembaga Adat Lolo yang dipimpin oleh Depati Jayo. Semenjak itu lembaga adat ini menurunkan beberapa gelar depati, saya kurang jelas apakah dibentuk sendiri atau diminta lagi gelar tersebut ke Pulau Sangkar, tolong saudara dari Lolo untuk menelusurinya. Namun yang jelas pada masa berikutknya untuk mengisi kedepatian Lekuk 50 Tumbi Lempur dimasukan Depati Mudo dalam bentuk sandang tersangkut di lembaga adat lempur tanpa kembali ke Lolo, kemudian dari lembaga adat Lekuk 50 Tumbi diturunkan Depati Parbo untuk dimasukkan ke dalam Lembaga Adat Lolo bukan dalam bentuk bunga sekaki kembang dua. Gelar Adat Depati Parbo ini dijemput oleh Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ke Balai Panjang di Serampas, kemudian dijemput pertama kali oleh Lembaga Adat Lolo untuk disandangkan kepada Buyun. Beliau inilah yang pertama menyandang gelar Depati Parbo, kemudian penyandang kedua adalah Depati Parbo - Kasib, atau pahlawan Kerinci.

2.     Wilayah kedepatian Lekuk 50 Tumbi Lempur adalah wilayah pemekaran dari wilayah Depati Rencong Telang. Orang pertama yang menuntuk gelar depati dari daerah Lempur yaitu Mampado cucu dari Depati Talago (Depati Rencong Telang) pada sekitar 12 generasi ke atas atau lebih kurang 300 tahun yang lalu. Gelar yang diturunkan adalah Depati Anum dan Depati Agung. Setelah itu wilayah adat Lempur mempunyai lembaga adat sendiri yang dinamakan Lembaga Adat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur. Dalam perjalanan yang panjang itu lembaga adat L50T ini menjemput banyak depati yang marsyal dan kembar rekan beserta ninek mamaknya dari beberapa lembaga adat antara lain: Lembaga Adat Depati Rencong Telang, Lembaga Adat Depati Muaro Langkap, Lembaga Adat Depati Sribumi Putih - Serampas, Lembaga Adat Depati Purwo Menggalo - Serampas, Lembaga Adat kedepatian Tigo Dibaruh, dan Lembaga adat Lolo. Tentang adanya gelar Depati Anum yang ada di Tanjung Pauh itu adalah gelar adat yang dibawa oleh salah seorang dari Lempur yang kawin di Tanjung Pauh, namun walau tidak punya anak, gelar tersebut sudah melekat di Lembaga Adat Tanjung Pauh dalam bentuk 'bunga sekaki kembang dua', artinya Depati Anum masih digunakan di Lembaga Adat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur, dan juga lembaga adat Tanjung Pauh. Pada waktu dulu, setiap ada penggantian gelar sandang Depati Anum di Tanjung Pauh selalu mengundang resmi kehadiran depati yang mewakili Lekuk 50 Tumbi Lempur, namun sekarang hubungan itu banyak tidak diketahui oleh generasi muda sehingga hubungan dua kedepatian itu terabaikan malah banyak mereka yang tidak mengenal dari mana asalnya.

3.     Wilayah kedepatian Rencong Telang sangat luas, sehingga banyak wilayah kedepatian yang diturunkan dari Lembaga Adat Depati Rencong Telang. Danau Kerinci waktu dulu disebut dengan Telago, yang dipimpin oleh Depati Talago - Pulau Sangkar. Karena demi mengisi kelembagaaan depati untuk daerah yang luas tersebut diturunkan untuk Depati Jujun memimpin wilayah Sigindo Kumbang beserta dengan ninek mamaknya Rajo Batuah. Kemudian Lembaga adat Jujun membentuk Lembaga Adat sendiri yang selalu dipimpin oleh Depati Jujun dan ninek mamak Rajo Batuah. Kemudian dari lembaga ini muncul 6 (enam depati baru) sehingga wilayah kedepatian ini dipimpin oleh depati nan batujuh dengan pucuk pimpinan Depati Jujun dan ninek mamak adatnya Rajo Batuah. Ninek mamak inilah yang bertugas memasuk petang mengeluarkan pagi, dia yang harus tahu perkembangan sehari-hari kehidupan masyarakat, kalau ada permasalahan atau ada berita penting melalui ninek mamak inilah akan disampaikan kepada depati nan batujuh.

Wilayah Depati Muara Langkap tidak dikembangkan berdasarkan wilayah kedepatian melainkan berdirinya beberapa kembang rekan dari Depati Muaro Langkap, seperti Depati Miai, Depati Melau, Depati Miti dan Depati Berau. Keseluruhan wilayah kedepatian mencakup sampai daerah Pangkalan Jambu.

Wilayah Depati Biang Sari sampai di daerah Tanjung Simalidu di daerah Pucuk Jambi juga terjadi pemekaran, namun tidak terdapat informasi yang jelas tentang cara pemekaran wilayah kedepatian. Depati baru yang muncul di wilayah kedepatian ini adalah Depati Karan Pandan di Pulau Pandan dan Depati Langit di Tarutung.


Catatan: Belum didapat informasi dan fakta yang lengkap tentang pengembangan wilayah Depati Muara Langkap dan Depati Biang Sari Kalau ada pembaca yang mempunyai informasi tersebut atau keterangan lebih lengkap untuk keseluruhan pengembangan wilayah kedepatian.silakan untuk melengkapi dan ikut sharing.

Daftar Pustaka :

KEUNIKAN DANAU DUO GUNUNG RAYA LEMPUR - KERINCI


Danau Duo terletak di Lempur Gunung Raya, yang terletak di kaki Gunung Batuah. Untuk mencapai danau duo dari Simpang Empat Lempur dengan masa tenggang perjalanan dengan jalan kaki sekitar 2 jam, namun kalau menggunakan sepeda motor (khusus untuk cross country) diperlukan waktu sekitar 45 menit, dengan jarak sekitar 8 km dari ibukota kecamatan Gunung Raya (Lempur).

Danau ini pada waktu musim kemarau dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat medannya tidak telalu berat, hanya saja kondisi jalan masih sangat buruk, sudah dibuka akses kesana dengan menggunakan eskavator namun karena belum disentuh oleh pengerasan makanya kondisi jalan tersebut semakin lama semakin jelek.
Perjalanan dari sampai dengan persimpangan Danau Nyalo dengan kondisi jalan yang sangat bagus sudah beraspal, namun sampai dengan simpang danau Nyalo, dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan lebih sering digunakan jalur track menelusuri kaki Gunung Batuah, umumnya melalui perladangan kulit manis penduduk.
Beberapa Khususan Danau Duo
  1.  Danau Duo ini yakni sekeliling danau ditumbuhi oleh tanaman kulit manis yang ditanam oleh warga setempat, selain itu kita juga bisa menikmati keindahan danau dengan berakit ria, bagi teman-teman yang mau camping disini kiranya bisa didirikan sekitar 10 sampai 15 tenda doom.
  2. Seperti pada danau-danau lain yang sudah diuraikan sebelumnya, kendaraan air utama yang ada di danau ini adalah rakit, tidak ada sampan. Penduduk mencari ikan atau menyeberangi sungai ini untuk ke ladang-ladang di sekitara Danau Duo ini hanya menggunakan rakit atau jalan kaki di pinggir-pinggir danau.
  3. Pinggiran Danau Duo berpasir dan berbatu-batu sehingga habitat ikan akan terjaga karena tempat bertelur atau menghempaskan telur sewaktu ikan mudik (nyakai) umumnya ada di sela-sela batu yang ada di dasar danau atau di pinggir danau tersebut.
  4. Danau Duo tidak mempunyai hulu dan tidak mempunyai muara, air danau ini bersumber dari resapan air yang berasal langsung dari Gunung Batuah, kemudian kelebihan air ini mengalir melalui saluran bawah tanah berpencar sampai ke desa-desa di wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur.
  5. Ciri khas danau ini yang sangat berbeda dengan danau lain adalah bahwa permukaan danau ini akan lebih tinggi pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan terjadi permukaan danau, berkebalikan dengan danau-danau lain permukaan airnya selalu naik pawa waktu musim hujan.
  6. Pada waktu musim kemarau permukaan danau ini menurun sehingga tanjung yang ada di tengah danau itu semakin tinggi dari permukaan danau sehingga seolah-olah membagi danau ini menjadi dua, itulah sebabnya disebut dengan Danau Duo.
  7.  Pada tanjung yang menjorok ke danau itu terdapat dataran yang sangat bagus untuk camping, kalau diperbaik dan diratakan dengan baik dapat menampung sekitar 25 tenda.
  8.  Danau Duo terletak sekitar 1500 meter diatas permukaan laut, termasuk danau tertinggi di Sumatera, mempunyai jenis ikan yang berbeda dengan danau-danau di lingkungan Gunung Batuah. Jika Danau Lingkat dan Danau Nyalo terdapat Ikan Sembarau , Ikan Memperas, dan Ikan lain seperti yang diuriakan sebelumnya. Di Danau Duo ini didominasi oleh ikan semah dan seluang, uniknya tidak ditemui ikan sembarau dan ikan medik. Sangat aneh, danau yang tidak berhulu dan tidak bermuara tetapi banyak terdapat ikan semah, padahal habitat umum ikan semah di Kabupaten Kerinci berada di sungai-sungai besar, misal sungai Batang Merangin dan anak-anak sungainya. Belum ada yang tahu kenapa demikian, ikan semah bisa hidup subur di ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Keberadaan ikan seluang juga sangat banyak, sehingga kalau pengunjung yang hobi memancing, dapat memasang mata kail (pancing) sampai dengan sepuluh buah, dan ikan seluang akan kena pancing menjadi lebih banyak.
  9. Pada siang hari, sewaktu sinar matahari sudah beranjak naik, kira-kira jam 9 sampai dengan 11 pagi, dari kejauhan akan nampak ikan-ikan semah muncul ke permukaan sambil berjemur di terik matahari.
  10. Keunikan lain dari keberadaan ikan semah itu bahwa walau jumlahnya sangat banyak tetapi sulit sekali untuk ditangkap. Kalau menggunakan jala, maka jala itu akan tersangkut dengan batu-batu terjal dan runcing yang ada pada dasar danau. Kalau menggunakan jaring (pukat) dengan tali lebih kecil maka jaring itu mudah sekali diterobos oleh ikan yang besar besar, kalau menggunakan tali yang lebih besar akan sangat kelihatan karena airnya jernih dan dapat dilihat oleh ikan sehingga jarang juga yang dapat ditangkap.
  11.  Jumlah ikan semah yang ada disana seolah-olah terjaga tidak bertambah banyak dan tidak pula terjadi pengurangan yang berarti.
  12.  Pada waktu-waktu tertentu, dari kejauhan terlihat pula di tengah danau itu terjadi pusaran besar dari air danau dan benda apa saja yang ada di pusaran itu akan terbawa sampai ke dasar danau.
  13.  Danau Duo ini sangat eksotik, pemandangan yang indah tidak hanya dilihat pada siang hari, pada sore hari akan terlihat pula pemandangan yang indah melihat matahari tenggelam (sunset) disela-sela bukit dan perkebunan kulit manis yang ada disekitaranya. Demikian pula pada pagi hari kelihatan seolah-olah adanya matahari yang muncur dari balik kayu-kayu dan hutan kulit mansi (sunrise).
Kekhususan dan ciri-ciri tertentu dari Danau Duo ini sangat perlu untuk dijaga, karena tidak ada duanya dan tidak terdapat tempat lain. Itulah sebabnya kawasan Danau Duo yang berada di kawasan Gunung Batuah perlu diangkat sebagai salah satu warisan dunia yang bisa diwariskan untuk generasi-generasi masa yang akan datang. Keterlambatan dalam perencanaan dan pengawasan lingkungan terhadap danau ini sangat ditakutkan nantinya habitat yang ada di dalam danau atau di sekeliling danau akan rusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Penjagaan kelestarian alam tidak hanya oleh penduduk setempat, tentu akan lebih baik kalau kawasan Gunung Batuah ini dijadikan UNESCO World Heritage, agar pembiayaan dan keberlangsungan keberadaan Danau Duo ini dapat dinikmati oleh masyarakat masa sekarang dan yang akan datang.


Tulisan Melayu Rencong....Sebelum Arab Melayu ( jawi )

         Aksara Incung Kerinci Kuno

1.    Peranan Bahasa Melayu Masa Lampau
PADA zaman awal kehidupan masyarakat Melayu, mereka masih belum memiliki kemahiran menulis. Semua perhubungan dilakukan dengan cara lisan. Pada waktu itu juga mereka masih menganuti fahaman animisme. Oleh kerana mereka percaya bahawa hantu, jin, jembalang, atau penunggu maka sesuatu benda yang besar seperti pokok besar, bukit besar atau apa sahaja benda yang mengagumkan akan mereka sembah. Pada masa inilah kedudukan pawang sangat dihormati.
Pawang, yang pada mulanya mendapat ilmu pengetahuan secara semula jadi itu menjadi tempat bertanya bagi menyelesaikan semua kemusykilan dan meminta ubat bagi orang yang sakit. Bagi keperluan ini, pawang menggunakan mantera, jampi, atau kata-kata hikmat yang lain dengan bahasa yang teratur, indah, dan berkesan.
Pawang ini kemudian menurunkan ilmunya kepada orang yang paling dipercayainya. Penurunan iimu ini adalah dengan cara hafaz dan amalan. Biasanya tidak semua ilmu yang dimiliki oleh pawang itu akan diturunkannya kepada rnuridnya dan ada pula murid yang mahu belajar secara khusus sahaja sehingga timbullah datu (orang yang pandai mengubati orang sakit), dukun (orang yang pandai membuat orang sihat menjadi sakit), dalang (orang yang pandai bercerita), dan kemahiran lainnya.
Antara kemahiran yang disebutkan di atas, daiang atau pencerita menjadi orang yang terkenal. Ia bebas mengembara ke mana-mana menyebarkan ceritanya. Masyarakat waktu itu memberi layanan yang istimewa kepada pencerita. Di mana sahaja pencerita berada, orang kampung akan berduyun-duyun mendengar cerita yang biasanya berbentuk penglipur lara. Ia kemudian dikenali sebagai pelipur lara.
Penglipur lara yang terkenal bijak ini bukan sahaja menyampaikan ceritanya apabila sampai ke sesuatu tempat. Sekali-sekala ia cuba juga menduga kepintaran orang di situ melalui teka-teki. “Antara jenis hasil sastera. Melayu yang terawal dan dipercayai terbitnya pada zaman orang Melayu belum memiliki kemahiran menulis, ialah teka-teki.”
Berkurun-kurun kemudian, pengalaman masyarakat Melayu semakin bertambah. Para cerdik pandainya cuba memikirkan cara untuk merakamkan bahasa mereka.
Pengalaman dan pengetahuan mereka tentang alam cukup luas. Oleh yang demikian, mereka mula menulis dengan  meniru cabang, ranting, potongan kayu, dan bentuk sungai. Lama-kelamaan terbentuklah tulisan yang kemudian dinamai sebagai Tulisan Rencong.
Orang Melayu sejak awal lagi merupakan pelaut ulung, telah sampai ke merata tempat. Begitu juga dengan si Penglipur Lara. Mereka telah mendengar cerita yang dibawa oleh penyebar kepercayaan Hindu ke Nusantara ini dan kemudiannya melengkapkan cerita mereka dengan cerita Hindu ini dan mengubahsuai cerita asalnya menjadi corak tempatan yang akhirnya berlakulah perkembangan kesusasteraan Melayu berbentuk lisan tersebut.

2.    Kesusasteraan Hindu
Saudagar dan mubaligh Hindu datang ke Nusantara ini dan bertapak di Pulau Jawa. Para mubaligh tersebut memperkenalkan karya Mahabrata dan Ramayana kepada masyarakat tempatan. Karya Vyasa dan Valmiki, pujangga India yang terkenal ini menarik perhatian pujangga istana di Jawa dan mereka menyalin bahagian yang mereka sukai.
Semasa Kerajaan Mataram di Jawa Tengah sedang jayanya, pujangga istana memang memiliki kedudukan yang istimewa. Mereka berpendapat bahawa peranan pujangga sama pentingnya dengan peranan mubaligh malahan mereka dapati melalui sastera penyebaran ilmu agama itu lebih berkesan dan mudah diterima oleh masyarakat. Sekitar tahun 925 M, iaitu semasa kejayaan Kerajaan Mataram, pujangga Yogiswara telah menyalin Ramayana ke dalam bahasa Jawa Kuno(tulisan Kawi). Semasa pemerintahan Raja Dharmawangsa (985-1006 M) pula, dilakukan penyalinan Mahabrata dan pada abad ke-11 disalin lagi dan diberi tajuk baru, iaitu Astadasaparwa.

3.    Kesusasteraan Jawa
Perkenalan pujangga istana dengan sastera Hindu ini telah melahirkan minat pujangga’ lain untuk menulis sendiri karya sasteranya. Semasa pemerintahan Airlangga, seorang pujangga bernama Mpu Kanwa mengarang syair (kekawin) yang diberinya nama Arjuna Wiwaha (sekitar tahun 1030 M). Mpu Sedah dan Mpu Panuluh puia menulis Bharatayudha sekitar tahun 1157 M. Dalam abad ke-12, lahirlah buku Smaradhana karya Mpu Dharmajaya dan buku Arjuna Wijaya karya Mpu Tantular.
Apabila Kerajaan Majapahit memperluas kekuasaannya hampir ke seluruh Kepulauan Melayu termasuk Thailand, mereka cuba mempengaruhi masyarakat dengan memperkenalkan Cerita Panji, iaitu kisah keagungan Raja Majapahit. Cerita inf tidak dapat diterima oleh masyarakat terutama di luar Pulau Jawa kerana ia menggunakan bahasa Jawa Kuno. Para pelipur lara yang mempersembahkan cerita ini melalui Wayang Gedok (wayang orang yang menggunakan mtopeng) mencari jalan lain. Sebelum mereka mempersembahkan Cerita Panji terlebih dahulumereka mempelajari bahasa Melayu.
Persembahan Wayang Gedok terutama di Sumatera kemudiannya menggunakan bahasa Melayu bercampur dengan bahasa Jawa. Secara langsung para pelipur lara ini telah mengangkat bahasa Melayu dan lama-kelamaan beberapa perkataan bahasa Jawa yang sesuai telah diserap ke dalam bahasa Melayu. Cerita Panji telah mempengaruhi kesusasteraan dan bahasa Melayu sekitar tahun 1240 M.

4.    Kesusasteraan Arab
Seiringan dengan penyebaran kesusasteraan Hindu dan Jawa, kesusasteraan Arab juga turut berkembang di alam  Melayu. Ini tidaklah menghairankan kerana orang Arab sejak awal Iagi telah sampai di Kepulauan Melayu. Sejarah China mencatatkan bahawa pada tahun 977 M, seorang utusan yang beragama Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) telah mengunjungi negeri China yang datang dari Poni, iaitu sebuah  negeri di alam Melayu.
Pada mulanya, cerita Hindu yang sudah sedia ada dalam pengetahuan masyarakat Melayu dimasukkan unsur Islam. Dengan demikian, para pendengar mudah menerima pengetahuanIslam tersebut. Lama-kelamaan lahir pula cerita nabi, para sahabat, dan pahlawan Islam lainnya. Semuanya disampaikan secara lisan semasa penyebaran agama.
Naskhah bertulis berkenaan dengan kesusasteraan Islam baru sahaja ditemui pada abad ke-15 walaupun kesusasteraan Islam telah masuk ke alam Melayu jauh sebelum itu lagi. Bahkan, istilah hikayat yang digunakan dalam kesusasteraan Hindu dan Jawa diambil daripada istilah bahasa Arab.
Pengaruh bahasa Arab lebih jelas lagi dapat dilihat pada Batu Nisan Malik al-Saleh. Batu Nisan ini dipercayai dibawa dari negeri Kembayat (Kambodia). Tulisan yang terdapat pada batu nisan tersebut keseluruhannya menggunakan bahasa Arab. Isinya antara lain menyatakan tarikh wafat Sultan Malik al-Saleh (Raja Pasai yang pertama memeluk agama Islam), iaitu bersamaan dengan tahun 1297 M. Ini bukanlah bermakna bahawa Batu Nisan Ivlalik ail-Saleh merupakan bukti pertama orang Nusantara ini memeluk Islam kerana di Leran, Gresik, Pulau Jawa terdapat batu nisan seorang wanita Islam bernama Fatimah bt. Maimun bertarikh 1082 M.
Jika di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa ditemui batu nisan orang Islam, di Tanah Semenanjung atau tepatnya di Sungai Teresat, Kuala Berang di negeri Terengganu ditemui pula batu bersurat yang dinamai Batu Bersurat Kuala Berang bertarikh 1303 M. Batu bersurat ini ditulis dengan huruf Jawi. Tulisan Jawi ini mengambil huruf Arab dan menambah beberapa huruf lain sebagai melengkapi bunyi Melayu yang tidak terdapat dalam bahasa Arab.
Berkenaan dengan aksara Jawi yang merupakan aksara Arab tersebut, aksara Persia telah menambahnya dengan empat huruf atau bunyi, iaitu p, ch, zh, dan g. Aksara Jawi mengambil huruf ch Persia menjadi c dan mengubahsuai g Persia dengan menggunakan titik di atas. Bunyi atau huruf p, ng, dan nya merupakan ciptaan bangsa Melayu sendiri. Aksara Jawi ini kemudian dilengkapkan dengan bunyi atau huruf v sejak 1987.
Kembali ke Pulau Sumatera, di Aceh ditemui pula sebuah nisan yang dinamai Batu Nisan Minye Tujuh. Batu nisan ini bertarikh 1380 M dan dituiis dengan tulisan India. Namun, bahasa yang digunakan merupakan gabungan bahasa Melayu, bahasa Sanskrit, dan bahasa Arab. Walaupun tarikh Batu Nisan Minye Tujuh ini terkemudian daripada Batu Bersurat Kuala Berang, ternyata bahasa Melayu pada Batu Bersurat Kuala Berang lebih maju.

Berdasarkan huraian di alas dapatlah disimpulkan bahawa:
1.            Tulisan Melayu yang awal ialah Tulisan Rencong.
2.            Kesusasteraan Islam diperkenalkan kepada masyarakat Melayu melalui tradisi lisan sama ada disampaikan oleh mubaligh Islam mahupun oleh pencerita tempatan sebagai kesinambungan tradisinya yang terdahulu.
3.            Kesusasteraan Hindu yang masuk ke alam Meiayu mula-mula menggunakan bahasa Sanskrit dan kemudian menggunakan bahasa Jawa Kuno (Kawi) di Pulau Jawa. Kesusasteraan ini diperkenalkan kepada masyarakat Melayu di Iuar Pulau Jawa melalui kesusasteraan Iisan dengan menggunakan bahasa Melayu campur bahasa Jawa.
4.            Tulisan Jawi telah mengambil alih tugas tulisan Rencong.
Penciptaan tulisan Jawi tentulah sudah bermula sebelum abad ke-13 kerana penggunaan tulisan Jawi di dalam  Hikayat Raja Pasai telah menunjukkan bahawa ia telah dapat mendeskripsikan pemikiran orang Melayu yang tinggi dan berseni.

5.    Aksara Tertua Nusantara
Untuk mendapat gambaran mengenai historis aksara Incung, kita menyimak hasil penelitian para pakar asing, yaitu Dr. P. Voorhoeve tahun 1941 yang mendapat bantuan isterinya dan nona N. Coster, yang keduanya menguasai aksara Kerinci dan mereka dibantu oleh Abdul Hamid seorang guru Sekolah Dasar Koto Payang I. Sebagaimana dikutip dari “Kerintji Documents, 1970: 369-370”, Voorhoeve menerangkan sebagai berikut :
“Kerinci, dalam perjalanan sejarahnya, telah mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan Minangkabau di sebelah Utara dan Jambi di sebelah Timur. Daerah ini sekarang kembali menjadi bahagian dari Jambi. Karena hubungan dekatnya dengan Sumatera Selatan ia dimasukkan ke dalam kepustakaan Sumatera Selatan yang disusun oleh Helfrich dan Wellan dan diterbitkan oleh Zuid- Sumatra Instituut (Institut Sumatera Selatan)”.
Dalam lapangan kesusastraan tertulis, perbedaan yang sangat menyolok antara Minangkabau dan Kerinci adalah bahwa di Kerinci terdapat banyak dokumen-dokumen atau naskah-naskah yang ditulis dalam tulisan Rencong (Ker. Incung), tulisan yang telah dipergunakan oleh rakyat Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab-Melayu bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Kerinci, dan disimpan sebagai pusaka turun temurun, sedangkan di Minangkabau hal yang demikian tidak ada sama sekali. Tulisan Kerinci mempunyai ciri-ciri yang khas dan berbeda dengan tulisan Rencong Rejang dan tulisan-tulisan Melayu Tengah.
Ini menunjukkan hasil karya nenek moyang orang Kerinci yang telah berumur ratusan tahun, sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan amat berharga dalam konteks peradaban manusia. Untuk mengenal kembali karya peradaban suku Kerinci masa silam, harus dimulai dari mana asal mulanya aksara Incung itu. Karena tanpa mengetahui historis aksara yang dipergunakan masyarakat Kerinci zaman dahulu. Kita tidak akan dapat mempelajarinya dengan benar dan tepat penggambaran simbol aksara.
Salah satu peninggalan peradaban masa silam yang terdapat di Sumatera adalah aksara Incung daerah Kerinci. Di Sumatera ada 4 wilayah induk penyebaran aksara daerah yaitu Batak, Kerinci, Rejang dan Lampung. Aksara Incung terdapat di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, satu-satunya daerah yang memiliki aksara sendiri di Sumatera bahagian tengah. Ini dibuktikan dengan adanya naskah-naskah kuno berumur ratusan tahun lebih yang mempergunakan aksara Incung, sampai saat ini masih disimpan oleh orang Kerinci.
Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah-naskah tersebut adalah bahasa Kerinci Kuno yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Kalau kita simak fonetis yang terdapat dalam naskah Incung umumnya memakai bahasa Melayu. Sebab bagaimanapun juga bahasa Kerinci Kuno tersebut merupakan bahagian dari bahasa Melayu zaman lampau yang penyebaran meluas dari Madagaskar sampai ke lautan Fasifik.
Sekalipun ada juga kata-kata Kerinci yang tidak ditemui di daerah penyebaran bahasa Melayu lainnya, tentu hal tersebut merupakan ‘local geneus’ yang berkembang sesuai dengan lingkungan alam dan budaya lokal.
Dengan kondisi tersebut aksara Incung pada hakekatnya adalah bahagian dari sastra Indonesia Lama, karena apa yang ditulis dalam naskah-naskah Incung Kerinci berbahasa Melayu. Dalam naskah itu, diantaranya banyak terdapat kata-kata dan ungkapan yang sulit untuk dimengerti bila dihubungkan dengan bahasa Kerinci yang digunakan oleh masyarakat sekarang, karena bahasa tersebut tidak menurut dialek desa tempatan yang ada di Kabupaten Kerinci.
Namun walaupun demikian, jika disimak secara seksama isi naskah pada tulisan Incung, orang masih dapat menangkap maksud dan makna yang terkandung didalamnya. Adapun sejarah tulisan berbahasa Melayu telah mulai dipergunakan sekitar tahun 680. Dari masa itu ada prasasti berbahasa Melayu yang sampai kepada kita, yakni prasasti Karang Berahi (Bangko), Kedukan Bukit (Palembang), Kota Kapur (Bangka), Talang Tuo (Palembang), dan beberapa prasasti lainnya. Prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa (India Kuno) dalam bahasa Melayu Kuno, oleh sebab itulah bahasa resmi dalam prasasti tadi kita namakan bahasa Melayu Kuno.
Berkaitan dengan bahasa dan aksara Kerinci, termasuk bahagian yang mempergunakan bahasa Melayu, sebagaimana yang ditulis dalam naskah-naskah Incung. Dalam naskah tersebut kita temui kata-kata yang tidak lazim pada dialek penyebaran orang-orang Melayu yang bermukim di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Perbedaannya berakar dari latar belakang bahwa induk suku Kerinci berasal dari Proto Melayu, dan dari sisi lain proses perjalanan sejarah orang Kerinci tentu berbeda dengan daerah Melayu lainnya, karena pemakaian aksara maupun fonetis bahasanya mendapat pengaruh lingkungan alam dan budaya lokal Kerinci.
Satu pertanyaan, kapan aksara Incung mulai dipergunakan orang Kerinci?. Untuk mengungkapnya tentu membutuhkan penelitian yang kongrit. Namun demikian, diduga orang Kerinci telah menggunakan tulisan Incung sejak zaman sesudah adanya prasasti Sriwijaya abad ke 7 di Karang Berahi (Kabupaten Merangin) bertulisan Pallawa. Cukup beralasan karena sebelumnya tidak ditemukan benda bertulisan di daerah Kerinci umumnya di Sumatera kecuali aksara Pallawa tersebut.
Walaupun demikian belum tentu orang Kerinci pada zamannya meniru tulisan Pallawa, baik cara penulisan maupun cara bacaannya. Aksara Incung pada awalnya ditulis dengan memakai sejenis benda runcing dan guratannya mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia Kuno. Yang jelas aksara Incung sudah dipergunakan oleh orang Kerinci selama berabad-abad sesudah aksara Pallawa dikenal oleh bangsa Melayu Sumatera. Inspirasi lahirnya aksara Incung pada orang Kerinci Kuno, didasari atas pemikiran pentingnya untuk pendokumentasian berbagai peristiwa kehidupan, kemasyarakatan, sejarah, tulis-menulis dan lain-lain.
Daerah yang terkait dengan hubungan aksara Incung Kerinci adalah Lampung dan Rejang. Seperti di Lampung, masyarakat di sana menyebut aksara daerahnya sebagai “Surat Ulu” atau sebutan lainnya “Palembang Ulu”. Di daerah Sumatera Selatan yang memakai bahasa Melayu, mengatakan bahasa yang terpakai pada ‘Surat Ulu’ tadi bukanlah bahasa Melayu, tetapi mereka mengatakan bahasa orang dahulu, bahasa kuno.
Kata Surat Ulu, yaitu surat orang zaman dahulu, banyak dibantah oleh pakar filologi. Menurut mereka yang benar ‘Surat Ulu’, yaitu surat ‘Hulu’ atau surat orang ‘pedalaman’. Karena surat-surat dengan aksara itu hanya terpakai di pedalaman saja, sedangkan pedalaman yang memiliki peradaban tulis baca pada zamannya adalah daerah Kerinci. Daerah Kerinci berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologi, dalam sejarah kebudayaan Nusantara merupakan daerah yang sangat tua (di Kerinci ditemui keramik dari Dinasti Han 300 SM).
Untuk mengungkap historis pemakaian aksara Incung yang terdapat pada naskah-naskah kuno Kerinci. Ada petunjuk dari beberapa naskah dengan pendahuluan kata-kata berbunyi :
-     Basamilah mujur batuwah jari tangan aku mangarang surat incung jawa palimbang … (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Depati Satio Mandaro di Desa Dusun Dilir Rawang)
-     Ah basamilah akung mangarang parapatah surat incung jawa palimbang … (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Rajo Sulah Desa Siulak Mukai).

Apa yang ditulis dalam naskah kuno Kerinci dengan sebutan ‘surat incung jawa palimbang’ maksudnya adalah, penyebaran aksara Incung sebagai tulisan lingua franca sampai ke daerah Sumatera bahagian Selatan pada zaman tersebut. Daerah Selatan itu yaitu daerah Lampung dan Rejang, yang mana oleh orang Kerinci zaman dahulu disebut sebagai ‘jawa palimbang’. Dimaksud dengan Jawa bukan Pulau Jawa tetapi daerah Lampung, sesuai dengan keadaan munculnya kerajaan Sriwijaya.
Hal ini dijelaskan oleh prasasti Kota Kapur Bangka (686 M) yang menyebutkan penghancuran bhumi jawa yang tidak bakti (tunduk) kepada Sriwijaya, antara lain bunyinya “..ni pahat di welanya yang wala srivijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhakti ke srivijaya”. Bhumi Jawa tersebut adalah sebuah kerajaan di Lampung, yaitu Tulang Bawang yang memiliki kekuatan menyaingi Sriwijaya.
Sedangkan ‘palimbang’ yang dimaksud dalam tulisan Incung Kerinci, juga bukan berarti kota Palembang, tetapi adalah komunitas orang dengan kebudayaannya di Sumatera Selatan, karena aksara Incung tidak terdapat di Palembang.
Jadi aksara yang terdapat dalam naskah kuno Kerinci, zaman dahulunya pemakaiannya sampai ke Rejang dan Lampung. Dalam naskah kuno Incung juga disebut nama kota-kota tua yang ada di daerah Selatan, sekalipun saat sekarang kota atau tempat tersebut tidak lagi memakai nama seperti dalam naskah Incung. Kerinci sebagai daerah hulu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dan orang Kerinci menyebut Jambi dan Palembang sebagai daerah rantau transit perdagangan ke selat Malaka.
Selama ratusan tahun hubungan orang Kerinci ke Selatan dengan melewati jalur tradisional Merangin dan Gunung Sumbing, untuk perdagangan sekaligus kontak budaya dengan masyakarat bahagian Selatan. Dari hubungan antara segala macam fenomena simbolik dengan realitas kehidupan masyarakat Kerinci dahulunya dengan orang-orang Melayu Sumatera, dapat diproyeksikan keberadaan aksara Incung sudah dipergunakan secara luas pada abad ke 14 M.
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan karya aksara Incung pengaruh Hindu. Pengaruh Hindu merupakan pengaruh asing pertama dan lama di Nusantara ini. Kenyataan terdapatnya kata-kata Hindu dalam naskah kuno Kerinci aksara Incung seperti kata Batara, Dewa, dan sebagainya.
Dalam pada itu, setelah agama Islam sampai ke Nusantara ini, beberapa suku bangsa yang disebut sebagai rumpun Melayu itu kemudian berkembang dengan ciri-ciri agama, bahasa, dan budayanya masing-masing. Dalam perkembangan yang terjadi melalui jalan sejarah yang panjang itu kita akhirnya dapat melihat bahwa orang-orang atau penduduk yang mendiami Sumatera, khususnya wilayah Kerinci memperlihatkan ciri dengan suatu warna budaya yang amat banyak diwarnai oleh agama mereka, yaitu Islam. Penduduk daerah ini beragama Islam, berbahasa Melayu Kerinci, serta mempunyai berbagai kesamaan pula dalam adat dan tradisi dengan daerah sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi.
Begitupun dengan aksara daerah yang dimiliki orang Kerinci disebut ‘aksara Incung’, menghasil karya-karya tulis bermutu tinggi sekalipun mereka telah melupakannya. Sejak abad ke-19 naskah-naskah aksara Incung telah dijadikan benda keramat oleh rakyat Kerinci, sedangkan orang-orang yang ahli dan dapat menulis dan membaca tulisan ini sudah tiada lagi.


2.    Media Penulisan Aksara Incung
Penulisan aksara Incung oleh orang Kerinci dimuat dalam karya sastra klasik. Pengertian sastra klasik ialah segala sesuatu yang tertulis, segala rupa tulisan dapat dipandang sebagai produk sastra, bermacam tulisan dalam berbagai bidang ilmu dan warna kehidupan dapat menjadi sasaran studi sastra. Kajian ini merupakan suatu studi yang memanfaatkan segala dokumen tertulis bagi suatu pembahasan berbagai cabang ilmu, kebudayaan, dan agama.
Pengertian sastra yang dipasang dalam cabang ini memberi peluang kepada siapapun untuk memakai segala teks tertulis untuk kepentingan bahan kajian dalam suatu kegiatan ilmu tertentu. Hasil sastra klasik Kerinci secara tertulis mulai pada zaman Islam awal memakai aksara Incung, dapat kita temukan pada naskah-naskah kuno Kerinci. Naskah kuno Kerinci yang sampai kepada kita berasal dari abad ke 13 – 19 M berupa benda-benda pusaka atau ‘pedandan’.
Ada semacam kepercayaan dikalangan orang Kerinci, bahwa penciptaan aksara dan pelahiran kesusastraan bersumber dari suatu latar belakang perwujudan budaya alam, manusia, dan Ketuhanan sebagai suatu keseluruhan. Sehingga kesusastraan orang Kerinci yang ditulis pada media tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, daun lontar, kain dan kertas merupakan kesusastraan suci yang dianggap keramat dan sakti. Sampai saat sekarangpun kepercayaan tersebut sulit hilang dalam kehidupan budaya masyarakat Kerinci
Kalau kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, banyaklah hal yang dapat dibicarakan dalam konteks tersebut. Bahasa, adat-istiadat, kesenian, dan ilmu pengetahuan adalah hasil-hasil budaya manusia yang harus dipertahankan hidupnya dan diusahakan pengembangannya. Salah satu aset kebudayaan Kerinci adalah bahasa Kerinci, bahasa ini memiliki perbedaan dengan dialek yang diucapkan oleh daerah sekitar Kerinci seperti Jambi dan Minangkabau. Kebanyakan bahasa daerah yang dipakai penduduk Sumatera umumnya adalah bahasa Melayu, kedalamnya termasuk juga bahasa Kerinci.
Bahasa Kerinci dipergunakan khusus penutur yang ada di kabupaten Kerinci. Sekalipun bahasa Kerinci berbeda dengan daerah lainnya di Sumatera, namun bahasa daerah ini berpokok kepada bahasa Melayu. Sejak zaman dahulu menjadi bahasa untuk semua kegiatan bagi orang Kerinci. Bahasa ini dipergunakan juga oleh orang Kerinci dalam penyebaran agama, perdagangan, pertanian dan sastra.
Naskah-naskah kuno Kerinci yang kita sebutkan itu merupakan satu perigi dari perigi khasanah sastra Melayu Klasik di Indonesia. Masih terbuka lagi kemungkinan menemukan perigi lain dari peninggalan peradaban Kerinci masa silam. Juga akan menjadi bahan studi menarik, baik dari segi mutu maupun ketinggian nilai sastranya. Kita melihat beberapa aspek naskah kuno daerah Kerinci, yang kita pandang sebagai dokumen tertulis sastra klasik. Hasil sastra klasik itu tidak lain berupa naskah-naskah, merupakan peninggalan dan hasil karya nenek moyang orang Kerinci masa silam.
Bahasa Kerinci adalah bahagian dari bahasa Melayu, sebagai daerah terpencil mempunyai dialek tersendiri Dialeknya berbeda sekali dengan suku-suku Sumatera lainnya. Namun orang Kerinci mengerti apabila orang bercakap-cakap dalam bahasa Melayu atau Indonesia umumnya mereka langsung mengerti pembicaraan tersebut. Karakteristik bahasa Kerinci terletak pada dialeknya yang banyak, hal seperti ini tidak ditemui di daerah lainnya Indonesia.
Sehingga terdapat dialek yang berbeda sebanyak jumlah desa (dusun asli, masyarakat persekutuan adat) yang ada dalam Kabupaten Kerinci semuanya berjumlah + 177 dialek. Diantara Faktor lain yang sangat mempengaruhi majemuknya dialek tersebut, dikarenakan kelompok–kelompok yang membentuk dusun (Kerinci: luhah, nagehi) lebih dominan hubungan genealogis teritorialnya. Sekalipun dusun itu bertetangga hanya dibatasi oleh jalan atau seberang sungai saja, tetapi ketika saling berkomunikasi mereka sama–sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya.
Juga tidak menghambat hubungan silaturahmi diantara mereka dalam dialek yang berbeda tersebut. Mereka merupakan kesatuan dalam sebuah lingkungan budaya Alam Kerinci. Jadi bahasa Kerinci ialah bahasa yang saling dimengerti oleh masyarakat yang menghuni lingkungan Alam Kerinci atau Kabupaten Kerinci.
Melihat bentuk grafis aksara Incung Kerinci hampir mirip dengan aksara daerah Sumatera lainnya seperti Batak, Rejang, dan Lampung. Sekalipun pada bacaan dan penulisannya banyak juga perbedaan yang mendasar. Kemiripan aksara-aksara daerah itu disebabkan, mereka berasal dari satu lingkungan budaya Sumatera yang sama pada masa dahulunya. Kemudian proses tumbuh dan berkembang, aksara tersebut mengalami corak yang membedakan satu sama lainnya sesuai dengan kondisi dan letak pusat induk kultur masing-masing etnis Sumatera itu.
Satu hal, pada naskah-naskah tulisan Incung itu tidak ditemukan penunjuk angka untuk bilangan. Jadi tulisan Incung hanya mengenal huruf saja dan tidak mempunyai angka bilangan. Mungkin inilah yang menyebabkan pada setiap naskah tidak didapati penanggalan maupun tanggal penulisannya.
Agama Islam berkembang dengan pesat di Nusantara pada puncaknya abad ke – 16, dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerinci penulisan naskah-naskah beralih ke aksara Arab dengan bahasa Melayu.
Hasil-hasil sastra Kerinci pengaruh Islam cukup banyak, antara lain cerita tentang Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW, cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, dan cerita mistik dan tasauf. Penulisan sastra Incung juga dipengaruhi oleh Islam seperti adanya dalam naskah-naskah kuno Kerinci aksara Incung, seperti pada kata pengantar : basamilah mujur dan assalamualikun.
Ini menunjuk bahwa orang Kerinci saat peralihan masuknya aksara Arab atau Islam, tidak menjadikan hilangnya aksara Incung dari kehidupan mayarakat Kerinci. Tetapi memperkaya karya sastra Incung dengan nuansa Islam, yang mana mereka menulis naskah-naskah Incung dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam.


Kategori

Kategori